I.
Pendahuluan
Hemeneutika
adalah ilmu sekaligus seni, begitulah kira-kira ungkapan seorang pakar
hermeneutika perancis (Paul Ricoeur). Hermeneutika juga merupakan metode
penafsiran yang menawarkan model alternatif pemahaman yang disebut metode Abduktif.
Yakni, mendekati data atau teks dengan sekian asumsi dan probabilitas sehingga
muncul sekian kemungkinan wajah kebenaran. Salah satu peran pokok Hermeneutika adalah
ingin menjaga ruh dari sebuah teks, jangan sampai teks itu berubah menjadi
sebuah tubuh mati karena ruh yang memberi hidup dan dinamika pada “tubuh teks”
telah hilang. Itulah sebabnya hermeneutika lebih tepat disejajarkn dengan
Ta’wil, bukannya Tafsir, dalam tradisi keilmuan Islam. Ta'wil artinya
mengembalikan makna teks pada bentuk awalnya, yang hidup dan dinamis, namun
makna ini sekarang telah terwadahi ataubisa jadi terkurung dalam tubuh teks.
Tradisi
intelektual Barat telah salah arah. Berbeda dengan pemikiran Timur. karena barat
tidak pernah meninggalkan ajaran tertentu tentang realitas. Agar menemukan
kembali suatu yang hilang dari ketidakseimbangan psikis dan spiritual;
Ditemukannya kembali peran Imajinasi. Sehinga menjadikan akal (rasio)
yang mampu membuka jiwa dalam memahami berbagai hal. Menurt Henry Corbin;
menyebutnya Imajinal ; adalah sebuah wilayah realitas yang tak nampak dan
jasadiah terorhanikan menjadi tampak (fantasi individual). Manakala kehilangan
penglihatan imajinal terhadap realitas tertentu maka unsur mistis dan ajaran
keagamaan akan terlepas.
II.
Rumusan Masalah.
A.
Biografi.
B.
Epistemologi.
C.
Hermeneutika.
III.
Pembahasan.
A.
Biografi
Sedikit
sekali toko-tokoh islam yang begitu terkenal di Barat sebagaimana, nama lengkap
beliau adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Al-‘Arabi Al-Hatimi Al-Tai (560-638H/1165-1240M)
sebutan beliau adalah Muhyi Al-Din Ibn al-‘Arabi (sang penghidup agama). Beliau
dikenal muridnya dengan sebutan al-Syaikh al-Akbar (Guru Besar). Sang Syekh lahir
di Mursiya, Andalusia (sekarang Murcia, masuk wilayah Spanyol). Ayahnya (‘Ali) adalah
seorang pegawai pemerintah pada masa Muhammad ibn Sa’id Mardanish, penguasa
murcia. Dia memiliki keluarga yang terhormat, kemudian keluarga pindah ke
Seville, di man ayahnya kembali menjadi pegawai pemerintah dan Ibn ‘Arabi
memulai karirnya sebagai sekretaris gubernur.
Pada
tahun 590H/1193M, Ibn ‘Arabi pertama kalinya meninggalkan Spanyol dan menju
Tunis. Tujuh tahun kemudian pergi ke Timur pada tahun 599H/1202M, dia pergi ke
Makkah untuk berhaji, dan dari sana melakukan perjalanan ke berbagai pusat
wilayah islam, Mesir, Iraq, Syiria, dan rum (sekarang turki) untuk jangka waktu
yang lama. Namun tidak sampai ke Iran. Pada tahun 620H/1223M, dia tinggal di
Damaskus, di mana dia dan sejumlah muridnya menetap disan hingga akhir hayatnya
pada tahun 638H/1234M. pada saat bersamaan dia melibatkan diri dalam masalah
sosial-politik di tengah masyarakatnya dan menjalin hubaungan dengan tiga raja
lokal. Salah seorang dri mereka mendapat perhatian khusus dalam tulisannya.
Dalam sebuah dokumen (ditulis tahun 632H/1240M), dia meminta izin pada ayyubi
Mudzaffar al-Din Musa (memerintahkan damaskus antara tahun 627H/1229-30M sampai
dengan 632H/1234M). untuk mengajarkan seluruh ajarannya yang dia tuangkan dalam
290 tulisan.
B.
Epistemologi
Epistemologi,
dari bahasa yunani episteme (pengetahuan), dan logos (kata/ilmu). Merupakan
cabang Filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis
pengetahuan. Pengetahuan ini meliputi: Ilmu, Orang Yang Berilmu, Menuntut Ilmu
dan Timbangan Hukum.
Menuntut
ilmu merupakan persoalan penting dalam islam. Dalam Al-Qur’an, sebagai perintah
kepada seluruh umat isalam khususnya, dan umat manusia pada umumnya, dianjurkan
supaya senantiasa menagajukan permohonan ini. Tuhan Swt berfirman kepada Nabi
Saw: “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu padaku”(QS. 20:114). Bentuk serta isi ilmu
keislaman terangkum dalam syahadah, “kesaksian” yang menjadi dasar
Tauhid, “Tiada tuhan kecuali Tuhan.” Yang terpenting dari seluruh pengetahuan
(ilmu) adalah penegetahuan tentang Tuhan. Ilmu tidak dapat dirumuskan dalam
pengertian esensialnya serta tidak mungkin ditentukan batasan-batasannya,
karena ia meliputi segala ikatan. Tiada sesuatu pun yang lebih gemilang
cahayanya dari pada ilmu. Tempat bersemayamnya ilmu, menurut Ibn al-‘Arabi dan
para tokoh Muslim lainnya, adalah hati. Ibn ‘Arabi menerapkan dua kata untuk
menunujukan pada pengetahuan, ‘ilm dan ma’rifah. Ibn ‘Arabi dalam
hal ini terkadanag menyakan dan membedakan konteks yang digunakan.
Ilmu
yang bermanfaat adalah ilmu mengantarkan seseorang untuk sampai pada Tuhan,
yaitu Tuhan Yang Maha Pengasih, Yang Maha Pengampun Lagi Bijaksana, bukan Tuhan
Yang Maha Murka Lagi Maha Menyiksa. Karena setiap ilmu berasal dari tuhan dan akan mengantarkan
kembali pada-Nya. Akan tetapi tidak semua ilmu akan mengantarkan kemabali pada
“wajah” tuhan yang sama. Ilmu yang hakiki dan bermanfaat adalah ilmu tentang
Tuhan, atau ilmu tentang kosmos sebagai sarana pengejewantahan ayat-ayat Tuhan
serta menunjukkan keberadaan-Nya. Ilmu yang mengantarkan pada Tuhan dan
kebahagiaan, sudah tentu bukan ilmu sekedar bersifat teori. Ia adalah ilmu yang
diaktualisasikan dalam praktik, diamalkan. Llmu dan amal merupakan dua hal yang tidak
bisa dipisahkan.
Dalam pandangan
kami, ilmu harus diamalkan dan, jika tidak demikian, ia bukanlah ilmu,
sekalipun ia tampak dalam bentuk ilmu.
Dalam
pandanagan kami, “makar” Tuhan pada seorang hamba adalah bahwa Dia hendak
memberinya ilmu yang mesti diamalkan, dan kemudian memberinya ujian dalam
mengamalkannya.
Sedangkan
ilmu yang tidak mengantarkan pada Tuhan dengan jalan kebahagiaan tidak dapat
disebut “ilmu”. Ibn ‘Arabi menunjuk
padanya sebagai dhann, sebuah term al-Qur’an, yang bisa dibicarakan
dalam ilmu-ilmu agama dan diartikan sebagai pendapat, praduga, atau usulan.
Dalam hal ini akan ada batas-batas ilmu, hakikat seluruh limu adalah ilmu
tentang Tuhan Swt, sementara tuhan sendiri, esensi-Nya tak dapat terfahami.
Tiada suatu apapun yang dapat diketahui tentang Tuhan kecuali apa yang Tuhan
nyatakan.
Dia yang tidak
memiliki ilmu menganggap telah mengenal Tuhan, akan tetapi hal itu tidak benar.
Sebab, sesuatu tidak dapat dikenali kecuali melalui sifat-sifat positif yang
melekat pada sesuatu itu. Tapi, ilmu kita tidak dapat menjangkaunya, begitu
pula dengan pengetahuan kita akan Tuhan. Maha Suci Dia yang hanya dapat
diketahui! Bukan suatu yang kesembronoan bagi dia yang mengenal Tuhan. Dia tahu
bahwa dia adalah salah satu dari mereka yang tidak tahu.
Tuhan tidak
dapat dipahami secara rinci, karena pengetahuan tentang Tuhan tidaka akan
pernah berakhir baik di dunia ini maupun dunia yang akan datang, Ia tak
terbatas.
ilmu
dapat diperoleh dari refleksi, penyingkapan ataupun pewahyuan. Kelembutan
hakikat manusia juga disebut “jiwa”, dapat diketahui melalui berbagai cara.
Ketika manusia mendapat ilmu dari refleksi, maka “alat” yang ia gunakan disebut
“akal”, manakala pengetahuan diperoleh langsung dari Tuhan, “alat” tersebut
disebut “hati”, yang dikontraskan dengan akal. Sebagaimana yang telah kita
ketahui, akal mendapatkan ilmu melalui berbagai keterbatasan dan ikatan-ikatan,
sementara hati melampaui seluruh keterbatasan. “akal” atau “kekuatan rasional”
adalah salah satu dari kekuatan fundamental jiwa manusia. Dari sudut pandang
tertentu, akal merumuskan keadaan manusia, membedakannya dari binatang.
Tuhan
menciptakan daya kekuatan yang disebut “akal” dengan menempatkannya di dalam
jiwa rasional, untuk menyimbangi kekuatan syahwat ketika ia mengendalikan jiwa
dengan membawanya menyimpang dari apa yang telah ditunjukkan oleh sang pemberi
hukum.
Tuhan
menempatkan akal (di dalam jiwa) untuk mengimbangi (kekuatan) syahwat. Jika
tidak ada akal, syahwat akan dimenagkan.
Sebagaimana
akal mengendalikan syahwat dan nafsu, ia juga dapat mengantarkan manusia menuju
kebahagiaan, yakni dengan menempuh jalan yang telah ditetapkan syari’at.
Refleksi,
sebagaimana telah kita ketahui, adalah salah satu dari enam instrumen yang
dimiliki oleh kekuatan rasional dalam memperoleh ilmu, lima yang lainnya adalah
pancaindera. Refleksi adalah sebuah daya kekuatan yang hanya dimiliki oleh
manusia. Ia berasal dari “bentuk” ilahiah yang secara eksklusif hanya dimiliki
oleh manusia, Seperti halnya dengan alat-alat yang lain, refleksi dapat
digunakan tujuan-tujuan yang baik ataupun buruk.
Fungsi
utama refleksi adalah untuk mengantarkan manusia pada pemahaman bahwa dia tidak
mampu mencapai pengetahuan tentang Tuhan jika hanya bertumpu pada kekuatannya
sendiri. Melalui refleksi, manusia melihat bahwa akal terbatas dan ia
hanya mengetahui segala sesuatu yang berada dalam jangkauannya, sementara
esensi Tuhan berada di sebarang pembatasan dan definisi. Karenanya, hanya
pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh melalui refleksi yang dapat dilakukan
oleh akal tidak dapat menjangkau Tuhan. Namun untuk sampai pada suatu
pengetahuan yang positif dan bersifat afirmatif tentang Tuhan, berbagai
pernyataan tentang Tuhan sesungguhnya bukan pengetahuan tentang Tuhan itu
sendiri.
Term
Arab nadhar, yang di sini diartikan “pertimbangan ”, memiliki arti melihat,
menatap, memperhatikan, menyelidiki. Bagi para pendukung kalam, ia mengandung
arti proses penyelidikan dan pemikiran yang dengannya dapat diperoleh berbagai
kesimpulan. Ibn al-Arabi menggunakan term tersebut secara teknis untuk
menunjuk pada aktivitas-aktivitas spekulatif dari kaum rasionalis pada umumnya,
dan khususunya kaum teolog dan para filsuf
Pertimbangan
memiliki peran penting, akan tetapi peran itu mesti dibatasi. Mereka yang bergantung
pada pertimbangan akan tersesat manakala mereka terikat pada sesuatu yang
seharusnya dia tinggalkan dan, misalnya, hal itu mereka percayai.
Dalam
berbagai ilmu, akal selalu mengikuti “petunjuk” (taqlid) dan petunjuk terbaik
adalah petujuk Tuhan. Taklid merupakan salah satu persoalan penting yang banyak
dibicarakan dalam berbagi aliran pemikiran islam dalam kaitan dengan persoalan
ushul fiqh. Seseorang yang taklid seakan mengikuti kata-kata serta perbuatan
dari orang lain dengan menjadikannya sebagai “kalung” atau “ikat leher”.
Taklid seringkali diperlawankan dengan ijtihad, yaitu usaha keras untuk
memperoleh kesimpulan-kesimpulan hukum, atau untuk menguasai hukum. Ia juga
dikontraskan dengan tahqiq atau pembuktian. Menurut Ibn al- Arabi, kata itulah
yang kemudia dijadikan sebagai landasan yang digunakan oleh kaum gnostik, yang
berusah membuktikan kebenaran pengetahuan mereka melalui ketersingkapan dan
penglihatan langsung. Meski para sufi serimgkali mengkritik orang-orang awam
yang hanya bertaklidd, sang syekh membagi orang-orang yang bertaklid dalam beberapa tingkatan, yang sudah barang
tentu, dengan pengecualian bagi mereka yang hanya mengikuti petunjuk (bertaklid
pada) Tuhan, bukan yang lain. Dalam beberapa hal menurut syekh, kadang taklid merupakan suatu keharusan.
Jika
di satu pihak, kaum sufi mengikuti petunjuk Tuhan, di lain mereka juga dapat
meninggalkan taklid dengan “membuktikan kebenaran” ilmu yang mereka terima
melalui hukum yang diwahyukan. Jadi, “pembuktian” (tahqiq) melengkapi serta
menyempurnakan taqlid.
Dalam
beberapa halaman, Ibn al-Arabi menjelaskan perbedaan antara dua jenis ilmu:
yang pertama dapat diperoleh melalui kekuatan rasional, dan “kaum gnosis” yang
hanya dapat diperoleh melalui praktik spiritual dan penyingkapan-diri Tuhan.
Secara umum, dia menunjuk pada jenis ilmu yang ke dua ini sebagai
“ketersingkapan” (kasyf), “merasakan secara langsung” (dzauq),
“pembukaan” (fath), “ilham” (basyirah), dan “kesaksian” (syudud), meski dia
juga menggunakan term-term lain, dan seringkali memilah-milahkan berbagai
term yang beragam.
Terdapat
dua jalan yang dapat mengantarkan menuju Tuhan. Tidak ada jalan yang ke tiga.
Jalan lain adalah jalan orang yang menyatakan Keesaan Tuhan dengan jalan
taklid.Jalan pertama adalah jalan penyingkapan. Ia adalah ilmu yang tidak dapat
dibantah yang beraktualisasikan melalui ketersingkapan dan orang dapat
menemukannya di dalam dirinya sendiri. Dia tidak mengalami keragu-raguan dalam
hal ini dan dia tidak dapat menolaknya. Dia tidak dapat menemukan bukti apa pun
dalam hal ini yang kecuali apa yang ada di dalam dirinya sendiri. Jalan ke dua
adalah jalan refleksi dan pemikiran melalui pembuktian rasional (burhan aqli).
Jalan ini lebih rendah dari yang pertama, karena dia yang mendasarkan
pertimbangannya pada pembuktian yang dapat menimbulkan keragu-raguan yang
mengacaukan pembuktiannya, dan hanya dapat dihilangkan melalui kesulitan.
Ilmu
terdiri dari tiga tingkatan, yang pertama adalah ilmu yang diperoleh melalui
akal, yang ke dua ilmu tentang keadaan (ahwal), yang tidak dapat dicapai
kecuali melalui dzauq, dan yang ke tiga adalah ilmu tentang
rahasia-rahasia (asrar). Tiada ilmu kecuali apa yang bersal dari Tuhan, karena hanya
Dia-lah Yang Maha Berilmu. Dia adalah Guru, yang murid-muridnya tidak pernah
mengalami keraguan-keraguan tentang segala sesuatu yang berasal dari-Nya. Kita
adalah orang-orang yang bertaklid kepada-Nya, dan apa yang dinyatakan oleh-Nya
kebenaran semata. Maka, lebih baik kita mengikuti petunjuk-Nya melalui mereka
yang disebut “Ulama”, daripada orang-orang yang mengandalkan perenungan
reflektif, yaitu mereka yang mengikuti kekuatan reflektif yang ada pada mereka.
Mereka tidak pernah berhenti berselisih paham dalam kaitan dengan ilmu tentang
Tuhan. Tapi, para Nabi sekalipun jumlah mereka besar dan hidup dalam kurun
waktu yang lama, tidak berselisih pendapat tentang Tuhan. Begitu pula halnya
dengan para wali Allah dan orang-orang pilihan-Nya: yang terakhir menguatkan
apa yang telah disampaikan oleh yang pertama, dan antara satu dengan yang lain
saling mendukung.
Ajaran-ajaran
Ibn al-Arabi begitu kompleks, dia menawarkan sebuah jalan keluar yang mendasar
bagi setiap pertanyaan dan segala kebingungan. Al-qur’an menyatakan secara
gamblang: “Ta’atilah Tuhan, dan ta’atilah Rasul serta orang-orang yang menjadi
pemimpin di antara kalian; dan apabila kalian berselisih paham, kembalilah pada
Tuhan dan Rasul-Nya” (Qs. 4: 59). Tuhan dan Rasul-Nya telah menetapkan
timbangan Hukum (al-mizan al-asyar’i), norma yang diterapkan pada setiap
manusia serta segala sesuatu secara cepat. Seluruh ilmu dan amal mesti diukur
sesuai dengan timbangan ini.
Syari’at
dapat memberikan pengetahuan yang tak terjangkau oleh akal jika tanpa bantuan
Tuhan, dan pengetahuan ini, sebagaimana telah kita ketahui, membentangkan jalan
menuju kebahagiaan hakiki. Dengan kata lain, manusia tidak dapat mendapatkan
rahmat Tuhan jika tanpa syari’at.
Term
“Timbangan” (mizan) berasal dari akar kata wazn, yang berarti
“menimbang”. Sebagaimana ditunjukkan oleh Ibn al-Arabi , terdapat term
al-Qur’an yang menunjuk pada seperangkat timbangan-atau dua “takaran” dan “petunjuk” yang disebut “lidah”
(lisan)-dan pada sebuah dacaing atau pengungkit (qabban), yang memanfaatkan
berat (rath).
Timbangan
yang dimaksud di sini adalah syari’at, yaitu “timbangan yang ditegakkan di
tengah-tengah kosmos untuk menegakkan keadilan” Melaluinya Tuhan menunjukkan
pada manusia jalan ilmu yang benar baik tentang dirinya sendiri maupun tentang
kosmos serta membentangkan jalan yang dapat mengantarkan pada rahmat serta
kelembutan-Nya di dunia yang akan datang.
Keadilan
yang hanya dapat dicapai melalui Timbangan memiliki keterkaitan erat dengan
“kebijaksanaan”. Keadilan berarti meletakkan segala sesuatu pada tempatnya,
sementara kebijaksanaan adalah berbuat secara tepat dalam setiap keadaan, ia
dipahami sebagai suatu aktivitas yang tidak mungkin jika tidak disertai dengan
pengetahuan yang benar. Seseorang yang bijak dan beradab senantiasa berbuat
sesuai dengan Timbangan Hukum. Lebih dari itu, dia mengikuti Timbngan ilmu
Tuhan, yang dengannya Hukum ditetapkan. Kebanyakan akal tidak menegtahui apa
yang diperbuatnya, jika tanpa bimbingan syari’at. Ibn al-‘arabi senantiasa
mengeritik kaum rasionalis karena mereka saling mengambil sumber-sumber yang
salah dalam merahih suatu ilmu serta tindak menjadikan ilmu maereka sepenuhnya
bermanfaat. Sebab mereka hanya menggunakan pada kekuatan refleksi yang
diciptakan oleh sang pencipta. Oleh karena itu manusia perlu mengenal Tuhan
melalui Tuhan atau setidaknya melalui bimbingan wahyu Tuhan.
C.
Hermeneutika
Dalam
hal ini, Ibn ‘Arabi menggunakan metode ta’wil mengenai hal tasawuf dalam bentuk
keimanan terhadap tuhan dan memahami Al-Qur’an dalam bentuk pemahaman konteks
dan menjahui meninggalkan makan literal teks.
Meski
akal tidak sepenuhnya dapat menangkap realitas Tuhan, ia memberikan sesuatu
pemahaman yang sangat penting tentang ke-Esaan-Nya.ketika Ibn ‘Arabi mengkritik
kaum rasionalis yang percaya pada apa yang telah disampaikan oleh rasul tidak
pada mereka sepenuhnya mengingkari apa yang telah rasul sampaikan, dia
menyatakan bahwa akal adalah sebuah alat yang digunakan oleh kaum teolog dan
kaum filosof dalam memahami teks-teks wahyu sesuai dengan “selera” mereka
masing-masing atau melalui apa yang mereka sebut ta’wil.
Kata
“keimanan” berasal dari lafadz amana yang berarti merasa aman dan
selamat. Memiliki keimanan berarti ‘merasa aman’ berkaitan dengan ilmu yang
dimilikinya tentang Tuhan dan mampu mengimplementasikannya kedalam praktik.
Iman seringkali diterapakan dengan tashdiq. Yang berarti unutk menguji
(kebenaran), meyakini atau mengakui apa yang ia yakini. Kalangan teolog umumnya
mengartikanya “keimanan” sebagai “menyatakan sebagai perkataan, meyakini dengan
hati, dan mengaktualisasaikan dalam perbuatan sesuai dengan tuntutan syari’at.”
Menurut sebuah hadits yang terkenal, “setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah; orang tuanyalah menjadikanya seorang yahudi, kristen ataupun pengikut
Zoroastrianisme”. Inilah fitrah yang termanifestasikan dengan sendirinya pada saat
Tuhan meminta kesaksian anak-anak Adam ketika hendak memasuki dunia ini. Itulah
asal muasal keimanan. Salah satu cara yang digunakan Tuhan untuk menguji
keimanan seseorang adalah dengan menurunkan Syari’at. Sebagaiman dengan
syari’at, pengutusan para nabi itu sendiri sesungguhnya merupakan suatu cara
dimana Tuhan menguji para hamba-hamba-Nya.
Ibn
‘Arabi menjadikan hal ini menjadi jelas ketika berbicara tentang “dengki”.
Tuhan melimpahkan ilmu-Nya kepada siapa yang dikehendaki. Yaitu ilmu yang dapat
mengantarkan menuju kebahagiaan dan menerangkan dengan suatu cara yang
memeungkinkan untuk memahaminya. Hal ini pun di lakukan dengan mengutus seorang
rasul bagi setiap kaum. Dia menempatkan seorang rasul di hadapan mereka dan
memerintahkan kepada mereka supaya mengikuti dan menaatinya, sebagai ujian
dari-Nya, supaya jelas bagi mereka bahwa Tuhan apa yang ada dalam diri mereka.
Ibn ‘Arabi tidak menyatakan bahwa orang yang tidak beriman tidak dapat masuk
surga. Tapi dia hanya menagtakan bahwa ilmu yang menyatakan ke-Esa-an Tuhan dapat
memberikan keselamatan walau tanpa iman. Al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan
menagampuni segala dosa kecuali syirik
(menyekutukan Tuhan dengan yang lain), lawanya adalah tauhid (QS. 4;48,
4;116).
Keimanan
menurut penerima akan apa yang disampaikan Tuhan melalui wahyu, sementara akal
tidak dapat menangkap segala sesuatu yang berasal dari realitas ketuhanan. Kata
yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi untuk menunjuk hal ini adalah kata ta’wil,
sebuah term Qurani yang disebut 17 ayat dalam al-Qur’an, meski tidak dalam
sebuah penertian yang menunjukan “ketersesatan”. Secara harfiyah, kata tersebut
berarti “kembali”, “mengembalikan” menegmbalikan pada asalnya dalam arti luas
ia juga berarti menemukan, menerangkan dan menafsirkan.
Secara
umum Ibn ‘Arabi berpendapat ibn ‘Arabi berpendapat bahwa Ta’wil merupakan suatu
cara untuk menafsirkan al-Qur’an serta sabda nabi melalui suatu cara yang tidak
dapat dikompromikan dengan prinsip rasional. Disamping (misal, melalui
penagalamna dan ketaqwaan), seorang mufasir menagkui supermasi akal serta
kemampuan dalam memahami segala sesuatu sebenarnya, akal menjadi timbangan bagi
segala sesuatu, termasuk firman tuhan. Secara praktis, seluruh Hermeneutika
modern serta warisan skriptual yang masuk dalam kategori ta’wil sebagaiman Ibn
‘Arabi memahaminya. Salah satu penagruh negatif ta’wil adalah kenyataan bahwa
ia dapat melemahkan iman. Orang yang berusaha mena’wilkan wahyu berarti yakin
pada kebenaran ta’wilnya, tidak pada apa yang sampaikan oleh wahyu itu.
Karenanya, dia tidak dapat melepaskan diri dari keterbatasan sendiri.
Ilmu
yang diperoleh akal melalui refleksi sifatnya terbatas demikian pula hanya
dengan cahaya yang disemayamkan tuhan kedalam hati manuisa. Dalam kaitan dengan
segala yang tercipta, akal memiliki keterbatasan dalam memahami penyingkapan
diri Tuhan.hal ini membuktikan betapa
ke-Esaan tuhan sebagaimana tuhan menyatakan diri dengan wahyu-Nya kedalam
bentuk kosmos.
Menurut
Ibn ‘Arabi, tidak ada seoarang pun yang dapat meragukan akurasi literal
Al-Qur’an. Menganggap bahwa “hakikat makna” (firman) tuhan berada dibalik
pernyataan literal atau dapat ditemukan melalui ta’wil merupakan salah suatu
itndakan yang tidak beradab terhadap tuhan. Kita tidak boleh mengabaikan begitu
saja makna literal dari suatu teks (ayat Al-Qur’an). Karena tidak mungkin
memahami teks al-Qur’an jika hanya bersandar pada akal, fakta ilmiah serta
barbagai upaya rasioanl lainnya, untuk memahami makna teks diperlukan kesiapan
tertentu.
Ibn ‘Arabi
secara tegas menyataka bahwa ilmu yang diperoleh melalui jalan kasf
lebih tinggi dari olmu yang diperoleh melalui upaya intelektual dan pencarian
rasional. Meskipun demikian dia tidak menagtakan bahwa ilmu rasional tidak
berguna akan tetapi rasioan itu memilik batasan-batasan semisal memahami persolan
tertentu yang tidak dapat dinalar dengan akal. Sang syekh pun memberikan
ketentuan yang sama manakala mengingatkan kita akan batasan akal. Suatu
kenyataan bahwa akal terbatasi dan terikat pada kenyataan alamiyahnya.
Sebenarnya, ia menyatakan, “akal” hanyalah merupakan nama bagi tindakan
kognitif yang mampu membedakan antara kita dengan Tuhan. Kasih sayang Tuhan
tidak akan pernak teraktualisasikan hingga pesona akal dapat deipecahkan dan
keterlepasan dapat teratasi.