TUGAS
HERMENEUTIKA
MUHAMMED ARKOUN
Dalam
Kajian Buku
[MASYARAKAT
KITAB]
dan dialog antar agama
STUDI ATAS PEMIKIRAN MOHAMED ARKOUN
dan dialog antar agama
STUDI ATAS PEMIKIRAN MOHAMED ARKOUN
Disusun
oleh:
Mukhammad
Nurul Lazim : (114211009)
Edi
Irwanto :
(114211020)
Muhammad
Lutfi Maulana : (114211029)
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Dalam proses mencari perbaikan
manusia selalu berusaha dengan sepenuh kemampuannya untuk dapat mencapai segala
sesuatu yang menjadi tujuanya. Dalam setiap usaha yang dilampauinya tentunya
tidak selalu berjalan mulus. Dalam usaha yang dilaluinya terkadang menimbulkan
berbagai kritk dan bahkan pencekalan-pencekalan oleh pihak-pihak lain.
Disinilah manusia diuji apakah dia mampu melalui rintangan tersebut dan tetap
berpegang pada prinsip yang dia punya.
Sama halnya dalam proses pengetahuan
untuk meraba makna Al-Qur’an secara mendalam, banyak para pemikir yang mencoba
cara-cara baru yang dianggapnya bisa membedah makna baru dalam Al-Qur’an yang
diharapkan selalu bisa menjawab segala permasalahan yang semakin kompleks dan
beragam. Dari semangat untuk mencari kebenaran dalam Al-Quran itulah banyak
pemikir-pemikir baru yang menggunakan kemampuanya untuk merekonstruksi konteks
yang mana bisa mencapai tujuan yang diharapkan, yakni pemahaman yang rasional
dan logis.
Mengenai pemikiran yang cenderung
bersifat rasional, dan metode-metode yang digunakan para ilmuan yang
mempelajari Al-Qur’an inipun banyak dari golongan orang muslim yang tidak
sependapat dan bahkan menentangnya. Bahkan salah satunya adalah hermeneutika.
Metode ini banyak yang menganggapnya salah dan tidak pas untuk diterapkan dalam
mempelajari Al-Qur’an.
Dari berbagai ilmuwan yang muncul
khusunya dari golongan kontemporer kita bisa mengenal Fazlurrahman, Nashir
Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun dan masih banyak lagi.Tidak
jarang pemikiran dari mereka ditentang oleh sebagian umat Islam sendiri. Bahkan
sebagian dari mereka telah dikafirkan dan diusir dari negaranya.
Dalam kesempatan ini kita akan
mengenal bagaimana pemikiran Muhammad Arkoun. Bagaimanakah dia berfikir
mengenai Islam dan bagaimana cara berfikirnya dalam mempelajari Al-Qur’an.
Disinilah kita akan membahasnya yang mana pembahasan ini diambil dari buku
karangan Ruslani yang berjudul MASYARAKAT KITAB dan Dialog Antar Agama (studi
atas pemikiran Muhammad Arkoun).
II.
KARAKTERISTIK BUKU
Buku berjudul :MASYARAKAT
KITAB dan Dialog Antar Agama (studi atas pemikiran Muhammad Arkoun)yang
diterbitkan oleh : YAYASAN BENTANG BUDAYA, Sambilegi Baru No.35 RT 01/RW 53, Telp.
082-274-5125, Faks. 0274-886346, Email: bentangbudaya@hotmail.com dan bekerjasama denganYAYASAN ADIKARYA IKAPI dan THE FORD
FOUNDATION. Iniadalah salah satu buku berbahasa Indonesia yang membahas
mengenai pemikiran Muhammad Arkoun. Buku dengan ukuran 20cmX15cmdan ketebalan
halaman romawi 35 halaman dan halaman isi 236 ini cukup banyak mengemukakan tentang
pemikiran Muhammad Arkoun.
Buku ini
mencakup beberapa pembahasan utama, yaitu:
1.
Muhammad
Arkoun dan Karyanya
2.
Wahyu
dan Metode Studi Al-Qur’an
3.
Masyarakat
Kitab dan Dialog Antar Agama.
Dalam ketiga
pembahasan utama tersebut akan dirincikan dalam pembahasan yang akan dipaparkan
dalam makalah ini.
III.
PEMBAHASAN
A.
MOHAMMED ARKOUN DAN KARYANYA
i.
Riwayat Hidup Mohammed Arkoun
a.
Riwayat Pendidikan dan Latar Belakang Pemikiran
§ Lahir pada tnggl 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljir,
Al Jazair. Yang dihadapkan pada 3 bahasa dan budaya yaitu Kabilia, Prancis, dan
Arab.
§ 1950-1954 di Universitas Aljir (Bahasa dan Sastra Arab)
§ 1954-1962 menjadin mahasiswa di Paris
§ 1969 meraih gelar Doktor di Universitas Sorbonne di bidang
Sastra.Dengan disertasi mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih.
b.
Tokoh-Tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Arkoun
§ Paul Ricour(Mitos)
§ Ferdinand de Saussure(Linguistik)
§ Jacques Derrida(Gramatologi)
§ Michel Foucault(Epistemologi)
§ Jacques Lacan(Psikologi)
c.
Beberapa Kegiatan Arkoun
§ Dosen fakultas sastra universitas strasbourg (1956-1959)
§ Dosen universitas sorbonne paris (1961)
§ Dosen universitas lyon (1970-1972)
§ Kembali ke paris sebagai guru besar sejarah pemikran islam
§ Sebagai dosen tamu universitas ternama luar negeri seperti
university of california, roma, belgia, philadelphia
§ Diangkat sebagai guru besar tamu universitas amsterdam
§ Anggota panitia nasional prancis
untuk etika dalam ilmu pengetahuan kehidupan dan kedokteran
§ Anggota majelis nasional untuk aids
§ Anggota legiun kehormatan prancis (kehormatan untuk tokoh terkemuka
di dunia akademik)
§ Pernah ke indonesia dalam seminar “contemporary expression of islam
in building” di yogyakarta oktober 1990. “international conference on cultural
tourism” di yogyakarta november 1992.
§ Aktif dalam dialog antar agama, khususnya ialam-kristen.
d.
Arkoun dan Pemikiran Islam
§ Bagi Arkoun Umat Islam belumlah beranjak dari pembahasan
teologis-dogmatis yang kaku dan dianggap standar dan tidak boleh diperdebatkan
lagi.
§ Arkoun bermaksud melampaui suatu kejumudan dan ketertutupan yang di
dalamnya menghasilkan penyelewengan dalam bidang sosial politik.
§ Arkoun mencoba untuk memadukan unsur yang paling mulia dari
pemikiran Islam (nalar islami) dan unsur paling berharga dalam pemikiran Barat
modern (nalar modern).
§ Dengan keduanya itu Arkoun mendambakan tujuan utama, yaitu
“emansipasi manusia”.
§ Yang disebut nalar islam oleh Arkoun adalah suatu nalar islami yang berkembang dan
berfungsi pada periode tertentu yang mulai pada periode klasik dari
Asy-Syafi’i, At Thobari, dll yg dirumuskan
dan menguasai dunia islam sampai sekarang.
§ Dalam menggunakan nalar islami ini Arkoun menggunakan metode kritik
sejarah (historisme).
§ Dalam nalar modern ini Arkoun menggunakan Rasionalitas dan sikap
kritisnya. Ini diharapkan mampu memahami agama dengan cara yang lebih
mendalam dan membongkar ketertutupan dan penyelewengan dalam hal polotik
sosial.
§ Yang dimaksudkan nalar modern adalah suatu nalar yang berkembang
dalam dunia barat mulai dari “nalar abad pertengahan” (renaisans) sampai masa
kini, dalam proses yang belum selesai.
ii.
Karya-Karya Arkoun
§ Traite d’ ethique (tulisan tentang etika) Damaskus 1996.
§ Contrubution a l’etude l’humanisme arabe au IV/Xe siecle :
Miskawayh Philosophe et historien. (Sumbangan pada pembahasan Humanisme Arab
pada abad IV/X: Miskawayh sebagai filosof dan sejarawan) Paris, Vrin, 1970.
§ La pensee arabe (Pemikiran Arab) Paris 1975. Diterjemahkan dalam
Bahasa Indonesia oleh Yudian W Asmin.
§ Al Fikr al-Islami. Naqd wa ijtihad. Terj. Hasyim Shalih, beirut
Markaz al-Inma’ al-Qaumi,1987.
§ Dll
B.
WAHYU DAN METODE STUDI AL-QUR’AN
i.
Wahyu
dan Nabi
Kebangkitan
ksadaran umat manusia terhadap kebenaran agam dibimbing oleh ilham, tetapi
disini muncul suatu kebutuhan baru. Jenis pemikiran yang diilhami yang tumbuh
dari pengalaman manusia biasa tidaklah cukup untuk memenuhinya,
kebenra-kebenaran yang akan diungkapkan disini bersifat amat padu adalah diluar
kemampuan manusia biasa. Sejenis ilham ataupun yang lain, yang dalam
tingkatanya lebih tinggi lebih vital, lebih cepat, lebih luhur yaitu suatu
pengugkapan dan penghubungan kebenaran dan kemauan yang maha tinggi kepada
hambanya yang terpilih, dalam suatu perwujudan yang supra rasional. Orang yang
diberi kehormtan ini di sebut sebagai nabi atau rosul, yang kemudian melahirkan
kitab atau naskah yang mencatat berita-barita atau perintah-perintah dari
tuhan.
Untuk
mendekati pemikiran tentang wahyu dalam trasdisi islam dan tradisi-tradisi
lainya yang kaya dan yang telah berkembang dan mengalami stratifikasi budaya
dan praktik idiologis selama berabad–abad, diperukan penelitian yang seksama
terhadap sumber-sumber tradisional untuk menghilangkan konsep sentral ortodoksi
terhadap tradisi-tradisi tersebut. Ortodoks dapat diartikan sebagai sebuah
sistem kepercayaan dan representasi mitologis dimana yang melaluinya suatu
kelompok tertentu menyadari serta menghasilkan sejarahnya sendiri. Ortodoksi
islam merupakan sebuah penggalan epistema yang belum pernah berakhir
hingga sekarang. Ia mempunyai berbagai macam bentuk dan dapat dijumpai pada
semua medan epistimologi seperti hadits, fikih ilmu kalam dan lain-lain.
Pandangan
ortodoksi meliputi berbagai macam aspek kehidupan umat islam, termasuk juga
pandangan mengenai wahyu dan kenabian. Konsepnya dapat diringkas dalam
proporsi-proporsi sebagai berikut.
1.
Tuhan
telah mengkomunikasikan kehendaknya kepda umat manusia melalui para nabi. Untuk
itu dia memakai bahasa yang dimengerti oleh manusia, tapi mengartikulasikan
kalimatnya dalam susunan sintaksis, retorika, dan kosa katanya sendiri. Tugas
para nabi hanyalah menyampaikan sebuah wacana yang disamaikan kepada mereka.
2.
Tradisi
ini menegaskan perantara malaikat jibril sebagai instrumen perantara antara
Tuhan dengan Nabi Muhammad.
3.
Wahyu
yang termaktub dalam al-Quran dan disampaikan kepada mhammad adalah yang paling
akhir, ia melengkapi wahyu-wahyu yang sebelumnya dan mengkoreksi teks-teks
dalam taurot dan injil.
4.
Wahyu
yang dimanifestasikan dalam al-quran memenuhi kebtuhan orang-orang beriman,
akan tetapi tidak mengungkapkan kata-kata dari tuhan sebagai mana tercantum
dalam kitab langit.
5.
Konsep
kitab langit yang sangat kuat ditekankan dalam al-Qur’an merupakan simbol
primoldial dari angan-angan keagamaan yang umum terdapat dalam masyarakat tmur
tengah kuno.
6.
Pengumpulan
al-quran dalam suatu bentuk fisik, yang bisa disebut mushaf, yang seluruhnya
terkondisikan oleh prosedur-prosedur manusiawi yang tidak sempurna, tidak
menghalangi elaborasi teori tentang ucapan tuhan yang tidak diciptakan. Wahyu
lengkap yang tercantum dalam al-quran, serta akses manusia yang langsung dan
otentik terhadap ujaran-ujaran ilahiah yang bersifat transendental.
Wahyu dalam al-Quran pertama-tama
adalah hasil pembuktian linguistik, struktur sintaksis, dalam semiotika wacana
al-Quran menyelidiki suatu ruang komunikasi yang secara total diartikulasikan
untuk mengutarakan pemikiran dan isi wahyu tersebut. Namun menurut Arkoun, bukti-bukti
yang terdapat dalam al-Quran mengenai wahyu itu sendiri telah dimanipulasi oleh ulama’ dari berbagai tingkatan untuk
berbagai tujuan dan kepentingan.
Arkoun menerangkan
fenomena wahyu sebagai hasil pembuktian linguistik dengan mangambi contoh
sutrat al-alaq/96. Tema-tema wahyu telah diterangkan dalam surat pendek ini.
Dalam sutrat ini tuhan menampakan dirinya sebagai subjek sentralyang secara
grametikal maupun semantis mengatur keseluruhan wacana ini. Namun ada dua
protagonis lain, yaitu nabi pada siapa printah ini ditujukan, dan manusia,
objek dan tujuan akhir dari seluruh tindakan yang diekspresikan oleh sejumlah
kata kerja.
Hal yang harus difahami
adalah gaya bahasa yang merupakan salah satu aspek dari al-Quran, sedangkan
aspek yang paling fundamental adalah pada kejelasan dan ketegasan maknanya,
terutama menyangkut doktrin tauhid dan hukum. Karena
sesungguhnya bahasa al-quran lebih menekankan makna yang sanggup menggugah
kesadaran batin dan akal budi ketimbang ungkapan kata yang berbunga-bunga.
ii.
Metode
Arkoun dalam Studi Al-Qur’an
a.
Hermeneutika
Bagi Arkoun
Hermeneutika adalah sebuah metode yang harus digunakan untuk menghidupkan
kembali sebuah tradisi melalui penafsiran ulangsejalan dengan dinamika sosial.
Ada tiga elemen pokok dalam hermeuitika, yaitu pengarang, teks-teks kitab, dan
pembaca. Masing-masing mestinya harus bersifat dinamis, terbuka, dan dialogis,
karna tanpa adanya unsur dialog yang dinamis dan terbuka dari ketiga elemen
tersebut, maka sebuah pesan akan kehilangan ruh dan mati. Sedangkan tugas pokok
hermeunitika adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang
asing sama sekali bagi kitayang hidup dizaman dan tempat serta suasana kultural
yang berbeda. Atau dengan kata lain, inti hermeunitika adalah suatu kajian
filosofis untuk mengenal pesan tuhan yang berada dibalik ungkapan bahasa.
Berkenaan dengan hal
diatas, salah satu pemikirn Arkoun yang sangat berharga adalah memperkenalkan
pendekatan hermeunitika sebagai metodologi kritis. Menurut cara pandang arkoun,
data kehidupan generasi awal islam yang disajikan dalam buku-buku klasik akan
memmunculkan informasi dan makna baru ketika didekati dengan cara pandang baru,
terutama dengan mengnakan metode hermeunitika historis.
Untuk mewujudkan upaya
ini, hermeunitika menawarkan teori alternatif yang disebut dengan metode
abduktif. Yakni mendekati data atau teks dengan sekian asumsi dan probabilitas
sehingga muncul sekian kemungkinan wajah kebenaran.
Dalam hal ini menarik
memperhatikan tesis Fazlur Rahman yang didalamnya berisi tentang beberapa poin,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Pertama,
perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih daripada sekedar penafsiran individual ketoka memahami
ketentuan-ketentuan tertentu didalam al-qur’an.
2.
Mengubah
cara berfikir subyektif meanjadi cara berfikir obyektif. Tujuanya adalah untuk
menyuguhkan islam pada cita-cita obyektif.
3.
Mengubah
islam yang ormatif menjadi yang teoritis.
4.
Mengubah
emahaman yang ahistoris menjadi historis.
5.
Merumuskan
formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi-formulasi yang
spesifik dan empiris.
b.
Linguistik
dan Semiotik
Metode
linguistik Arkoun sangan jelas diungkapkan ketika dia membhas surat
Al-fatihhah, yaitu dalam tulisanya “Lectur de la fatiha”. Ia membedakan dengan
apa yang ia sebut dengan ujar satu, yaitu kalimat-kalimat yang benar-benar di
ucapkan oleh nabi yang tidak dapat kita jumpai lagi, dengan jar dua, yaitu teks
yang diberikan kepada kita untuk dibaca atau dilafalkan dan diletakan diawal
musahkhaf.
Arkoun
menyarankan tiga macam pembacaan terhadap surat Al-fatihah (yang berarti juga
terhadap Aal-qur’an). Pertama cara pembaca liturgis, yaitu cara membaca
yang dilakukan kaum muslimin dalam ritual. Kedua, tata cara penafsiran.
Pembacaan dengan cara ini dilakukan oleh kaum muslimin sejak ia memperoleh
pengetahuan mengenai ujar satu. Ketiga, linguistik kritis. Cara yang
ketiga ini betul-beul menggunakan linguistik namun dengan sikap kritis.
Mohammad Arkoun
juga merupakan satu-satunya ilmuan muslim yang telah mencoba memperkaya studi
islam dengan hasil perkembangan semiotika. Semiotika adalah ilmu tanda, istilah
tersebut berasal dari kata yunani semeion yang berarti tanda. Disini
kita perlu memahami bahwa, bukan tanda-tanda dan hubungan antara berbagai tanda
yang merupakan inti perhatian Arkoun, melainkan makna pembentukan dan perubahan
makna, serta perubhan makna dan perubahan dalam penafsiran.
Ø Bahasa Lisan dan Bahasa Tulisanya
Kita telah melihat bahwa salah satu
pokok permasalahan yang dihadapi Arkoun adalah proses perkembangan penafsiran al-quran
dan penafsiran secara umum dalam proses itu arkoun membagi dalam tiga tahapan; pertama
ia meng hubungkan dengan proses pembakuan dan penutupan dalam penafsiran
al-quran dengan pengalihanya dari bentuk lisan ke bentuk tulisan. Kedua
dia beranggapan bahwa dalam pemikirn manusia terjadi peralihan antara dua cara
pemakaian bahasa. Ketiga ia berpendapat bahwa bahasa lisan adalah bentuk
bahasa yang lebih awal dari pada bahasa tulisan.
Pada pendirian
kedua, Arkoun beranggapan bahwa pada mulanya pemikiran manusia berdasarkan
sejenis kalam seperti digunkan para rasul, peramal dan juga penyair. Kalam itu
yang bisa disebut kalam kenabian membicarakan persolan-persoalan seperti asal
dan tujuan eksistensi manusia, kasihsayang, kehidupan dan maut. Kalam kenabian
tidak membicarakan fakta-fakta tertentu tapi membicarakan nilai-nilai. Kalam tersebut
bersifat terbuka, dalam artian maknanya tidak bisa ditentukan menjadi
penafsiran kaku dan tertentu oleh seseorang ataupun kelompok. Akhirnya
peralihan dari kalam kenabian kewacana pengajaran dikaitkan Arkoun dengan
peralihan dari bahasa lisan kebahasa tulisan.
Ø Keterkaitan Bahasa-Pemikiran-Sejarah
Secara umum arkoun membedakan dua
bentuk tradisi, dalam karya-karyanya secara bersmaan menggunakan dua kata
“tradision” dan turats, dan membagi keduanya dalam dua jenis: Tradisi
atau Turats dengan T besar, yaitu tradisi yang transenden yang dipahami sebagai
tradisi ideal, yang datan dari Tuhan yang tidak dapat diubah-ubah oleh
historis. Tradisi semacam ini adalah abadi dan absolut. Dengan begitu , target
dan objek kajian yang dilakukanya adalah turats yang kedua, yang
dibentuk oleh kondisi sejarah (kondisi ruang dan waktu).
Dengan
pemahaman yang demikian maka umat islam diharapkan dapat melihat situasi sosial
politik yang ada untuk bisa menerapkan pemhaman agama itu sesuai dengan
tuntutan zaman. Karena sesungguhnya pemikiran teologi tertentu sebenarnya
muncul didorong oleh situasi, kondisi dan tantangan tertentu.
C.
MASYARAKAT KITAB DAN DIALOG ANTARAGAMA
i.
Ahlul
Kitab
Salah satu pokok masalah yang
diungkapkan oleh al-Quran adalah ahli kitab. Secara umum kaum yahudi dan
nasroni adalah yang ditunjukan oleh al-quran sebagai ahlu kitab. Dua komunits tersebut secara jelas mempunyai
hubungan persambungan aqidah dengan kaum muslimin. Bahkan allah sendiri
menegaskan bahwa al-quran datang untuk memberkan pembenaran terhadap sebgian
ajaran taurot da injil.
Dalam
pembhasan mengenai ahlu kitab Arkoun menawarkan konsep masyarakat kitab sebagai
cara untuk memikirkan ulang konsep lama mengenai ahlu kitab tanpa tergantung
pada definisi polemis dan teologis yang sampai hari ini masih berlaku. Ahlu
kitab menurut arkun sendiri adalah orang-orang kristen yang harus dihadapi
muhammad baik di makah maupun madinah.
Mereka disebut dalam al-Quran sebagai pemilik wahyu yang awal,
orang-orang beriman yang dikasihi allah sama dengan ornag-orang muslimin.
ii.
Masyarakat
Kitab
Konsep
msyarakat yang di gunakan Arkoun merujuk kepada semua metodologi dan
problematika yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial, politik dan kemanusian
sekarang. Metode tersebut akan memberikan pemahaman yang baru mengenai seting
sejarah yang memunculkan kitab suci dalam agama-agama wahyu. Pengertian
masyarakat kitab lebih luas dan lebih kompleks ketimbang pengertian ahli kitab
yang digunakan dalam al-Quran. Gagasan ini memberikan komponen bersama dalam
masyarakat islam, kristen dan yahudi sebagai berikut; pertamarujukan
kepda kitab yang diwahyukan oleh tuhan, keduakitab yang diwahyukan
seperti itu menjadi sumber paling dalam dari semua nilai ideal bagi semua orang
yang percaya, ketigapenetapan norma-norma tidak hanya dimiliki oleh
suatu otoritas doktrin atau ulama ahli hukum, keempat Otoritas atau ulama’
itu memegag hak pengawasan.
a.
Analisis
Historis
Pada saat
arkoun memasuki wilayah elaborasi tentang itegrasi agama kedalam kekuatan yang
membentuk masyarakat, sesungguhnya arkoun menampilkan sebuah karakteristik baru
tentang penafsiran kitab suci yang berhubungan dengan konsep sosiologis. Hal
ini tentu benar-benar baru bagi teologi islam.
Melalui analisis
historisnya, arkoun menyatakan bahwa masyarakat kitab terbentuk atas empat hal,
yaitu:
1.
Peristiwa
pewahyuan
2.
Kesaksian
yang menafsirkan
3.
Kitab
dan
4.
Pembacanya
Jejak-jejak dari keempat hal itu dan
pengejawantahanya hanya menjadi sistem produksi nilai-nilai transenden, yang
menganggap suatu konfigurasi kesadaran mistis dengan kemungkinan-kemungkinan
bangkitnya berbagai modus pemahaman yang rasional dan positif.
b.
Analisis
Antropologis
Konsep yang
sering digunakan dalam pemikiran Arkoun adalah angan-angan dan mitos. Bagi
arkoun, angan-angan sosial tidak hanya memainkan peran yang penting dalam
perkembangan pemikiran dan masyarakat kaum muslim sampai sekarag, melainkan
tetap akan merupakan bagian tak terpisahkan dari pemikir islam yang
diperbaharui.
Pandangan Arkoun
secara implisit juga menyebutkan bahwa absolutisme idiologi-teologi-filsafat
dalam masyarakat adalah hasil proyeksi penafsiran mufasir. Menurut Arkoun, yang
seharusnya dilakukan adalah proyeksi dari wacana itu sendiri. Untuk itu Arkun
sering kali mengguanakan metode dekonstruksi yang diperkenalkan oleh Jacques Derrida.
Arkoun menggunakan metode ini untuk melakukan rekonstruksi tradisi keilmuan islam
klasik. Metode itu diterapkan kedalam teks-teks keagamaan dan idiologi melalui
pemisahan hubungan minolinier antara teks dengan tafsiranya. Keyakinan bahwa
ada hubungan final antara suatu teks dengan tafsiran tertentu, harus dibongkar,
karena keyakinan semacam ini akan menimbulkan dampak negatif.
Dekonstruksi
juga membawa dampak lain yang lebih bersifat sosiologis, yakni berusaha
menghapus monopoli tafsir pada otoritas tertentu yang berbicara mengenai
keyakinan tunggal atas nama tuhan. Tafsir menjadi suatu yang relatif demokratis
dalam pengertian adanya kemungkinan bahwa kebenran tidaklah menjadi monopoli
satu tafsir tertentu.
iii.
Dialog
Antaragama
Manusia
sbagai makhluk fitrah dan hanafiyah, selalu memiliki potensi untuk bersikap
benar dan berperilaku baik sdalam berbagi pkiran dan perbuatanya. Meskipun
demikian, karna kelemahanya, yang alamiyah, pada saat yang sama manusia juga
memiliki kewajiban untuk mendengar pandangan dan pendapat orang lain, kemudian
mengujinya secara kritis,untuk melihat mana yang seharusnya diikuti.
1.
Realitas
Pluralisme
Era sekarang yang di sebut-sebut sebagai Era pluralisme dalam
berbagai segi kehidupan manusia yaitu, pluralisme budaya,agama, tekhnlogi, dan
begitu seterusnya. Dibalik ungkapan itu terkandung maksud bahwasanya sangat
sulit utuk mempertahankan paradikma tunggal dalam wacana apapun. Untuk
menghadapi realitas dunia yagng plural ini, umat beragama dituntut untuk mampu
menempatkan diri dan memahami konteks pluralisme yang dilandasi oleh semangat
saling menghormati dan menghargai. Oleh karna itu ada beberapapengertian
pluralisme yang perlu dipahami oleh masing-masing umat beragama.
a)
Pluralisme
tidak semata menunjukan pada kenyataan tentang adaya kemajemukan. Namun yang
dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
b)
Pluralisme
harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Yang menunjuk pada suatu realitas
dimana aneka ragam agama, ras ,dan bangsa hidup berdampingan disuatu lokas.
Namun interaksi positif antar penduduk, khususnya dibidang agama sangat minim
walaupun ada.
c)
Konsep
pluraluisme tidak dapat disamaka dengan relativisme.
d)
Pluralisme
agama bukanlah sinksretisme.
2.
Pemahaman
baru
Arkoun
menganjurkan adanya pemahaman baru terhadap agama. Pemahaman yang tidak
terkungkung oleh pemahaman-pemahaman lama diabad pertenahan. Yaitu pemahaman
yang terbuka atas berbagai macam kritik dan analitis, pemahaman yang selalu
dinamis dan bergarak sesuai dengan perubahan zaman dan masyarakat. Karna tanpa
adanya pemahaman itu tidak akan terciptanya saling mengerti bahkan dalam satu
agama.
Dalam
masalah dialog ini Arkoun mengingtkan pada para pemeluk agama-agama, terutama
tiga pemeluk agama semit, yang masing –masing mengklaim bahwa wahyu tuhan
sebagai sumber ajaran agama mereka dan kebenaran agamanya. Arkoun pun membedakan tiga tingkatan wahyu tersebut
dilihat secara historis-antropologis.
a)
Pertama
wahyu sebagai kalam tuhan yang transenden yang tak terbatas dan tidak kita
ketahui secara keseluruhan. Kita hanya mengetahui bagian-bagianya saja yang
sudah diwahyukan kepada nabi. Tingkatan ini dalam bahasa al-quran disebut al-lawh
al-mah fuzh atau umm al-kitab.
b)
Kedua
penampakan wahyu dalam sejarah pada mulnya bersifat lisan yang dalam bahasa
Arkoun disebut sebagai ujar satu.
c)
Wahyu
yang sudah tertulis yang disebut Arkoun sebagi official closed canons (korpus
resmi tertutup). Tingkatan inilah yang
mempunyai sejarah paling besar dalam pewahyuan, bisa juga disebut dengan
ujar dua.
Pandangan
diatas merupakan salah satu teori dari metode historis-antro pologsis yang
digunakan Arkoun dalam setudi wahyu.
Arkoun memandang bahwa wahyu yang telah tertulis tidak bisa dilepaskan
dari proses sejarah dan lingkungan sosial yang melingkupinya. Dan melalui
hermeunitika Arkoun berusaha mengungkapkan makna teks keagamaan yang senantiasa hidup dan
berkembang sesuai dengan perkembangan sejrah masyarakat yang tersentuh oleh
gagasan tentang wahyu tersebut.
3.
Pendekatan
Multi Disipliner
Arkoun menggunakan bebagai macam peragkat dan metode dari ilmu-ilmu
sosial dan humaniora yang berkembang saat ini.Arkoun menekan dua hal yang
dianggapnya sangat penting untuk keperluan dialog antaragama dan peradaban; pertama
menggunakan teori linguistik modern mengenai teks.Kedua korpus resmi
tertutup merupakan dasar wilayah kultural dan liguistik yang besar dimana wahyu
didekati, diinterpretasikan, dan digunakan dalam agama-agama wahyu.
Pandangan
arkoun diatas sangat jelas menekankan pentingnya metode linguistik dan semiotik
untuk memahami kitab suci guna keperluan dialog. Teks suci harus dibaca ulang
melalui berbagi teori linguistik dan semiotik modern untuk memperoleh pemahaman
yang lebih komprehensif mengenai”bahasa” yang melatar belakangi lahirnya suatu
teks keagamaan, terutama kitab suci.
4.
Saling
Mengenal Antar Tradisi
Berdasarkan fakta sejarah, walaupun islam dan barat mempnyai akar
teologis yang sama dan telah terjadi berabad-abad, hubungan islam dan barat
seringkali ditandai dengan ketidaktahuan, saling menghina dan konflik. Kedua
belah pihak memusatkan perhatian semata-mata pada perbedan yang dipertajam, dan
melakukan pollarisasi, bukanya mempersatukan visi ketiga tradisi besar
monoteistik yang saling berkaitan. Oeh karna itu , arkoun menganjukan usaha
salig mengenal tradisi agama-agama itu untuk menghindari hal diatas.
Arkoun menyarankan
dilakukan empat hal untuk dialog antar agama yaitu:
a.
Melakukan
pemikiran kembali terhadap konsep-konsep lama tentang agama dan masyarakat
untuk menuju suatu era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan
integrasi sosial.
b.
Melakukan
reformasi pemikiran dari pemikiran teologis yang ekslusif menuju
kritismeradikal tanpa kosesi terhadap”akal religius” sebagai fungsinya dalam
seluruh tradisi agama-agama tersebut.
c.
Harus
melampui pembagian antara” akal religius” dan “akal pencerahan.
d.
Perlunya
studi agama secara historis-antropologis
0 komentar :
Posting Komentar