Jumat, 07 Juni 2013



TUGAS
HERMENEUTIKA MUHAMMED ARKOUN
Dalam Kajian Buku
[MASYARAKAT KITAB]
dan dialog antar agama
STUDI ATAS PEMIKIRAN MOHAMED ARKOUN


Disusun oleh:
Mukhammad Nurul Lazim              : (114211009)
Edi Irwanto                                       : (114211020)
Muhammad Lutfi Maulana             : (114211029)


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.              PENDAHULUAN


Dalam proses mencari perbaikan manusia selalu berusaha dengan sepenuh kemampuannya untuk dapat mencapai segala sesuatu yang menjadi tujuanya. Dalam setiap usaha yang dilampauinya tentunya tidak selalu berjalan mulus. Dalam usaha yang dilaluinya terkadang menimbulkan berbagai kritk dan bahkan pencekalan-pencekalan oleh pihak-pihak lain. Disinilah manusia diuji apakah dia mampu melalui rintangan tersebut dan tetap berpegang pada prinsip yang dia punya.
Sama halnya dalam proses pengetahuan untuk meraba makna Al-Qur’an secara mendalam, banyak para pemikir yang mencoba cara-cara baru yang dianggapnya bisa membedah makna baru dalam Al-Qur’an yang diharapkan selalu bisa menjawab segala permasalahan yang semakin kompleks dan beragam. Dari semangat untuk mencari kebenaran dalam Al-Quran itulah banyak pemikir-pemikir baru yang menggunakan kemampuanya untuk merekonstruksi konteks yang mana bisa mencapai tujuan yang diharapkan, yakni pemahaman yang rasional dan logis.
Mengenai pemikiran yang cenderung bersifat rasional, dan metode-metode yang digunakan para ilmuan yang mempelajari Al-Qur’an inipun banyak dari golongan orang muslim yang tidak sependapat dan bahkan menentangnya. Bahkan salah satunya adalah hermeneutika. Metode ini banyak yang menganggapnya salah dan tidak pas untuk diterapkan dalam mempelajari Al-Qur’an.
Dari berbagai ilmuwan yang muncul khusunya dari golongan kontemporer kita bisa mengenal Fazlurrahman, Nashir Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun dan masih banyak lagi.Tidak jarang pemikiran dari mereka ditentang oleh sebagian umat Islam sendiri. Bahkan sebagian dari mereka telah dikafirkan dan diusir dari negaranya.
Dalam kesempatan ini kita akan mengenal bagaimana pemikiran Muhammad Arkoun. Bagaimanakah dia berfikir mengenai Islam dan bagaimana cara berfikirnya dalam mempelajari Al-Qur’an. Disinilah kita akan membahasnya yang mana pembahasan ini diambil dari buku karangan Ruslani yang berjudul MASYARAKAT KITAB dan Dialog Antar Agama (studi atas pemikiran Muhammad Arkoun).

II.           KARAKTERISTIK BUKU
Buku berjudul :MASYARAKAT KITAB dan Dialog Antar Agama (studi atas pemikiran Muhammad Arkoun)yang diterbitkan oleh : YAYASAN BENTANG BUDAYA, Sambilegi Baru No.35 RT 01/RW 53, Telp. 082-274-5125, Faks. 0274-886346, Email: bentangbudaya@hotmail.com dan bekerjasama denganYAYASAN ADIKARYA IKAPI dan THE FORD FOUNDATION. Iniadalah salah satu buku berbahasa Indonesia yang membahas mengenai pemikiran Muhammad Arkoun. Buku dengan ukuran 20cmX15cmdan ketebalan halaman romawi 35 halaman dan halaman isi 236 ini cukup banyak mengemukakan tentang pemikiran Muhammad Arkoun.
Buku ini mencakup beberapa pembahasan utama, yaitu:
1.      Muhammad Arkoun dan Karyanya
2.      Wahyu dan Metode Studi Al-Qur’an
3.      Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Agama.
Dalam ketiga pembahasan utama tersebut akan dirincikan dalam pembahasan yang akan dipaparkan dalam makalah ini.

III.        PEMBAHASAN
A.    MOHAMMED ARKOUN DAN KARYANYA
i.          Riwayat Hidup Mohammed Arkoun
a.      Riwayat Pendidikan dan Latar Belakang Pemikiran
§  Lahir pada tnggl 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljir, Al Jazair. Yang dihadapkan pada 3 bahasa dan budaya yaitu Kabilia, Prancis, dan Arab.
§  1950-1954 di Universitas Aljir (Bahasa dan Sastra Arab)
§  1954-1962 menjadin mahasiswa di Paris
§  1969 meraih gelar Doktor di Universitas Sorbonne di bidang Sastra.Dengan disertasi mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih.
b.      Tokoh-Tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Arkoun
§  Paul Ricour(Mitos)
§  Ferdinand de Saussure(Linguistik)
§  Jacques Derrida(Gramatologi)
§  Michel Foucault(Epistemologi)
§  Jacques Lacan(Psikologi)
c.       Beberapa Kegiatan Arkoun
§  Dosen fakultas sastra universitas strasbourg (1956-1959)
§  Dosen universitas sorbonne paris (1961)
§  Dosen universitas lyon (1970-1972)
§  Kembali ke paris sebagai guru besar sejarah pemikran islam
§  Sebagai dosen tamu universitas ternama luar negeri seperti university of california, roma, belgia, philadelphia
§  Diangkat sebagai guru besar tamu universitas amsterdam
§  Anggota panitia nasional prancis  untuk etika dalam ilmu pengetahuan kehidupan dan kedokteran
§  Anggota majelis nasional untuk aids
§  Anggota legiun kehormatan prancis (kehormatan untuk tokoh terkemuka di dunia akademik)
§  Pernah ke indonesia dalam seminar “contemporary expression of islam in building” di yogyakarta oktober 1990. “international conference on cultural tourism” di yogyakarta november 1992.
§  Aktif dalam dialog antar agama, khususnya ialam-kristen.
d.      Arkoun dan Pemikiran Islam
§  Bagi Arkoun Umat Islam belumlah beranjak dari pembahasan teologis-dogmatis yang kaku dan dianggap standar dan tidak boleh diperdebatkan lagi.
§  Arkoun bermaksud melampaui suatu kejumudan dan ketertutupan yang di dalamnya menghasilkan penyelewengan dalam bidang sosial politik.
§  Arkoun mencoba untuk memadukan unsur yang paling mulia dari pemikiran Islam (nalar islami) dan unsur paling berharga dalam pemikiran Barat modern (nalar modern).
§  Dengan keduanya itu Arkoun mendambakan tujuan utama, yaitu “emansipasi manusia”.
§  Yang disebut nalar islam oleh Arkoun adalah  suatu nalar islami yang berkembang dan berfungsi pada periode tertentu yang mulai pada periode klasik dari Asy-Syafi’i, At Thobari, dll yg dirumuskan  dan menguasai dunia islam sampai sekarang.
§  Dalam menggunakan nalar islami ini Arkoun menggunakan metode kritik sejarah (historisme).
§  Dalam nalar modern ini Arkoun menggunakan Rasionalitas dan sikap kritisnya.  Ini diharapkan  mampu memahami agama dengan cara yang lebih mendalam dan membongkar ketertutupan dan penyelewengan dalam hal polotik sosial.
§  Yang dimaksudkan nalar modern adalah suatu nalar yang berkembang dalam dunia barat mulai dari “nalar abad pertengahan” (renaisans) sampai masa kini, dalam proses yang belum selesai.
ii.        Karya-Karya Arkoun
§   Traite d’ ethique (tulisan tentang etika) Damaskus 1996.
§   Contrubution a l’etude l’humanisme arabe au IV/Xe siecle : Miskawayh Philosophe et historien. (Sumbangan pada pembahasan Humanisme Arab pada abad IV/X: Miskawayh sebagai filosof dan sejarawan) Paris, Vrin, 1970.
§   La pensee arabe (Pemikiran Arab) Paris 1975. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Yudian W Asmin.
§   Al Fikr al-Islami. Naqd wa ijtihad. Terj. Hasyim Shalih, beirut Markaz al-Inma’ al-Qaumi,1987.
§   Dll

B.     WAHYU DAN METODE STUDI AL-QUR’AN
i.          Wahyu dan Nabi
Kebangkitan ksadaran umat manusia terhadap kebenaran agam dibimbing oleh ilham, tetapi disini muncul suatu kebutuhan baru. Jenis pemikiran yang diilhami yang tumbuh dari pengalaman manusia biasa tidaklah cukup untuk memenuhinya, kebenra-kebenaran yang akan diungkapkan disini bersifat amat padu adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sejenis ilham ataupun yang lain, yang dalam tingkatanya lebih tinggi lebih vital, lebih cepat, lebih luhur yaitu suatu pengugkapan dan penghubungan kebenaran dan kemauan yang maha tinggi kepada hambanya yang terpilih, dalam suatu perwujudan yang supra rasional. Orang yang diberi kehormtan ini di sebut sebagai nabi atau rosul, yang kemudian melahirkan kitab atau naskah yang mencatat berita-barita atau perintah-perintah dari tuhan.
Untuk mendekati pemikiran tentang wahyu dalam trasdisi islam dan tradisi-tradisi lainya yang kaya dan yang telah berkembang dan mengalami stratifikasi budaya dan praktik idiologis selama berabad–abad, diperukan penelitian yang seksama terhadap sumber-sumber tradisional untuk menghilangkan konsep sentral ortodoksi terhadap tradisi-tradisi tersebut. Ortodoks dapat diartikan sebagai sebuah sistem kepercayaan dan representasi mitologis dimana yang melaluinya suatu kelompok tertentu menyadari serta menghasilkan sejarahnya sendiri. Ortodoksi islam merupakan sebuah penggalan epistema yang belum pernah berakhir hingga sekarang. Ia mempunyai berbagai macam bentuk dan dapat dijumpai pada semua medan epistimologi seperti hadits, fikih ilmu kalam dan lain-lain.
Pandangan ortodoksi meliputi berbagai macam aspek kehidupan umat islam, termasuk juga pandangan mengenai wahyu dan kenabian. Konsepnya dapat diringkas dalam proporsi-proporsi sebagai berikut.
1.      Tuhan telah mengkomunikasikan kehendaknya kepda umat manusia melalui para nabi. Untuk itu dia memakai bahasa yang dimengerti oleh manusia, tapi mengartikulasikan kalimatnya dalam susunan sintaksis, retorika, dan kosa katanya sendiri. Tugas para nabi hanyalah menyampaikan sebuah wacana yang disamaikan kepada mereka.
2.      Tradisi ini menegaskan perantara malaikat jibril sebagai instrumen perantara antara Tuhan dengan Nabi Muhammad.
3.      Wahyu yang termaktub dalam al-Quran dan disampaikan kepada mhammad adalah yang paling akhir, ia melengkapi wahyu-wahyu yang sebelumnya dan mengkoreksi teks-teks dalam taurot dan injil.
4.      Wahyu yang dimanifestasikan dalam al-quran memenuhi kebtuhan orang-orang beriman, akan tetapi tidak mengungkapkan kata-kata dari tuhan sebagai mana tercantum dalam kitab langit.
5.      Konsep kitab langit yang sangat kuat ditekankan dalam al-Qur’an merupakan simbol primoldial dari angan-angan keagamaan yang umum terdapat dalam masyarakat tmur tengah kuno.
6.      Pengumpulan al-quran dalam suatu bentuk fisik, yang bisa disebut mushaf, yang seluruhnya terkondisikan oleh prosedur-prosedur manusiawi yang tidak sempurna, tidak menghalangi elaborasi teori tentang ucapan tuhan yang tidak diciptakan. Wahyu lengkap yang tercantum dalam al-quran, serta akses manusia yang langsung dan otentik terhadap ujaran-ujaran ilahiah yang bersifat transendental.

Wahyu dalam al-Quran pertama-tama adalah hasil pembuktian linguistik, struktur sintaksis, dalam semiotika wacana al-Quran menyelidiki suatu ruang komunikasi yang secara total diartikulasikan untuk mengutarakan pemikiran dan isi wahyu tersebut. Namun menurut Arkoun, bukti-bukti yang terdapat dalam al-Quran mengenai wahyu itu sendiri telah dimanipulasi  oleh ulama’ dari berbagai tingkatan untuk berbagai tujuan dan kepentingan.
            Arkoun menerangkan fenomena wahyu sebagai hasil pembuktian linguistik dengan mangambi contoh sutrat al-alaq/96. Tema-tema wahyu telah diterangkan dalam surat pendek ini. Dalam sutrat ini tuhan menampakan dirinya sebagai subjek sentralyang secara grametikal maupun semantis mengatur keseluruhan wacana ini. Namun ada dua protagonis lain, yaitu nabi pada siapa printah ini ditujukan, dan manusia, objek dan tujuan akhir dari seluruh tindakan yang diekspresikan oleh sejumlah kata kerja.
            Hal yang harus difahami adalah gaya bahasa yang merupakan salah satu aspek dari al-Quran, sedangkan aspek yang paling fundamental adalah pada kejelasan dan ketegasan maknanya, terutama menyangkut doktrin tauhid dan hukum. Karena sesungguhnya bahasa al-quran lebih menekankan makna yang sanggup menggugah kesadaran batin dan akal budi ketimbang ungkapan kata yang berbunga-bunga.
ii.        Metode Arkoun dalam Studi Al-Qur’an
a.       Hermeneutika
Bagi Arkoun Hermeneutika adalah sebuah metode yang harus digunakan untuk menghidupkan kembali sebuah tradisi melalui penafsiran ulangsejalan dengan dinamika sosial. Ada tiga elemen pokok dalam hermeuitika, yaitu pengarang, teks-teks kitab, dan pembaca. Masing-masing mestinya harus bersifat dinamis, terbuka, dan dialogis, karna tanpa adanya unsur dialog yang dinamis dan terbuka dari ketiga elemen tersebut, maka sebuah pesan akan kehilangan ruh dan mati. Sedangkan tugas pokok hermeunitika adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali bagi kitayang hidup dizaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda. Atau dengan kata lain, inti hermeunitika adalah suatu kajian filosofis untuk mengenal pesan tuhan yang berada dibalik ungkapan bahasa.
      Berkenaan dengan hal diatas, salah satu pemikirn Arkoun yang sangat berharga adalah memperkenalkan pendekatan hermeunitika sebagai metodologi kritis. Menurut cara pandang arkoun, data kehidupan generasi awal islam yang disajikan dalam buku-buku klasik akan memmunculkan informasi dan makna baru ketika didekati dengan cara pandang baru, terutama dengan mengnakan metode hermeunitika historis.
      Untuk mewujudkan upaya ini, hermeunitika menawarkan teori alternatif yang disebut dengan metode abduktif. Yakni mendekati data atau teks dengan sekian asumsi dan probabilitas sehingga muncul sekian kemungkinan wajah kebenaran.
      Dalam hal ini menarik memperhatikan tesis Fazlur Rahman yang didalamnya berisi tentang beberapa poin, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Pertama, perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih daripada  sekedar penafsiran individual ketoka memahami ketentuan-ketentuan tertentu didalam al-qur’an.
2.      Mengubah cara berfikir subyektif meanjadi cara berfikir obyektif. Tujuanya adalah untuk menyuguhkan islam pada cita-cita obyektif.
3.      Mengubah islam yang ormatif menjadi yang teoritis.
4.      Mengubah emahaman yang ahistoris menjadi historis.
5.      Merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi-formulasi yang spesifik dan empiris.

b.      Linguistik dan Semiotik
Metode linguistik Arkoun sangan jelas diungkapkan ketika dia membhas surat Al-fatihhah, yaitu dalam tulisanya “Lectur de la fatiha”. Ia membedakan dengan apa yang ia sebut dengan ujar satu, yaitu kalimat-kalimat yang benar-benar di ucapkan oleh nabi yang tidak dapat kita jumpai lagi, dengan jar dua, yaitu teks yang diberikan kepada kita untuk dibaca atau dilafalkan dan diletakan diawal musahkhaf.
Arkoun menyarankan tiga macam pembacaan terhadap surat Al-fatihah (yang berarti juga terhadap Aal-qur’an). Pertama cara pembaca liturgis, yaitu cara membaca yang dilakukan kaum muslimin dalam ritual. Kedua, tata cara penafsiran. Pembacaan dengan cara ini dilakukan oleh kaum muslimin sejak ia memperoleh pengetahuan mengenai ujar satu. Ketiga, linguistik kritis. Cara yang ketiga ini betul-beul menggunakan linguistik namun dengan sikap kritis.
Mohammad Arkoun juga merupakan satu-satunya ilmuan muslim yang telah mencoba memperkaya studi islam dengan hasil perkembangan semiotika. Semiotika adalah ilmu tanda, istilah tersebut berasal dari kata yunani semeion yang berarti tanda. Disini kita perlu memahami bahwa, bukan tanda-tanda dan hubungan antara berbagai tanda yang merupakan inti perhatian Arkoun, melainkan makna pembentukan dan perubahan makna, serta perubhan makna dan perubahan dalam penafsiran.
Ø  Bahasa Lisan dan Bahasa Tulisanya
            Kita telah melihat bahwa salah satu pokok permasalahan yang dihadapi Arkoun adalah proses perkembangan penafsiran al-quran dan penafsiran secara umum dalam proses itu arkoun membagi dalam tiga tahapan; pertama ia meng hubungkan dengan proses pembakuan dan penutupan dalam penafsiran al-quran dengan pengalihanya dari bentuk lisan ke bentuk tulisan. Kedua dia beranggapan bahwa dalam pemikirn manusia terjadi peralihan antara dua cara pemakaian bahasa. Ketiga ia berpendapat bahwa bahasa lisan adalah bentuk bahasa yang lebih awal dari pada bahasa tulisan.
               Pada pendirian kedua, Arkoun beranggapan bahwa pada mulanya pemikiran manusia berdasarkan sejenis kalam seperti digunkan para rasul, peramal dan juga penyair. Kalam itu yang bisa disebut kalam kenabian membicarakan persolan-persoalan seperti asal dan tujuan eksistensi manusia, kasihsayang, kehidupan dan maut. Kalam kenabian tidak membicarakan fakta-fakta tertentu tapi membicarakan nilai-nilai. Kalam tersebut bersifat terbuka, dalam artian maknanya tidak bisa ditentukan menjadi penafsiran kaku dan tertentu oleh seseorang ataupun kelompok. Akhirnya peralihan dari kalam kenabian kewacana pengajaran dikaitkan Arkoun dengan peralihan dari bahasa lisan kebahasa tulisan.
Ø  Keterkaitan Bahasa-Pemikiran-Sejarah
Secara umum arkoun membedakan dua bentuk tradisi, dalam karya-karyanya secara bersmaan menggunakan dua kata “tradision” dan turats, dan membagi keduanya dalam dua jenis: Tradisi atau Turats dengan T besar, yaitu tradisi yang transenden yang dipahami sebagai tradisi ideal, yang datan dari Tuhan yang tidak dapat diubah-ubah oleh historis. Tradisi semacam ini adalah abadi dan absolut. Dengan begitu , target dan objek kajian yang dilakukanya adalah turats yang kedua, yang dibentuk oleh kondisi sejarah (kondisi ruang dan waktu).
               Dengan pemahaman yang demikian maka umat islam diharapkan dapat melihat situasi sosial politik yang ada untuk bisa menerapkan pemhaman agama itu sesuai dengan tuntutan zaman. Karena sesungguhnya pemikiran teologi tertentu sebenarnya muncul didorong oleh situasi, kondisi dan tantangan tertentu.





C.    MASYARAKAT KITAB DAN DIALOG ANTARAGAMA
i.          Ahlul Kitab
Salah satu pokok masalah yang diungkapkan oleh al-Quran adalah ahli kitab. Secara umum kaum yahudi dan nasroni adalah yang ditunjukan oleh al-quran sebagai ahlu kitab.  Dua komunits tersebut secara jelas mempunyai hubungan persambungan aqidah dengan kaum muslimin. Bahkan allah sendiri menegaskan bahwa al-quran datang untuk memberkan pembenaran terhadap sebgian ajaran taurot da injil.
                        Dalam pembhasan mengenai ahlu kitab Arkoun menawarkan konsep masyarakat kitab sebagai cara untuk memikirkan ulang konsep lama mengenai ahlu kitab tanpa tergantung pada definisi polemis dan teologis yang sampai hari ini masih berlaku. Ahlu kitab menurut arkun sendiri adalah orang-orang kristen yang harus dihadapi muhammad baik di makah maupun madinah.  Mereka disebut dalam al-Quran sebagai pemilik wahyu yang awal, orang-orang beriman yang dikasihi allah sama dengan ornag-orang muslimin.
ii.        Masyarakat Kitab
Konsep msyarakat yang di gunakan Arkoun merujuk kepada semua metodologi dan problematika yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial, politik dan kemanusian sekarang. Metode tersebut akan memberikan pemahaman yang baru mengenai seting sejarah yang memunculkan kitab suci dalam agama-agama wahyu. Pengertian masyarakat kitab lebih luas dan lebih kompleks ketimbang pengertian ahli kitab yang digunakan dalam al-Quran. Gagasan ini memberikan komponen bersama dalam masyarakat islam, kristen dan yahudi sebagai berikut; pertamarujukan kepda kitab yang diwahyukan oleh tuhan, keduakitab yang diwahyukan seperti itu menjadi sumber paling dalam dari semua nilai ideal bagi semua orang yang percaya, ketigapenetapan norma-norma tidak hanya dimiliki oleh suatu otoritas doktrin atau ulama ahli hukum, keempat Otoritas atau ulama’ itu memegag hak pengawasan.

a.       Analisis Historis
Pada saat arkoun memasuki wilayah elaborasi tentang itegrasi agama kedalam kekuatan yang membentuk masyarakat, sesungguhnya arkoun menampilkan sebuah karakteristik baru tentang penafsiran kitab suci yang berhubungan dengan konsep sosiologis. Hal ini tentu benar-benar baru bagi teologi islam.
      Melalui analisis historisnya, arkoun menyatakan bahwa masyarakat kitab terbentuk atas empat hal, yaitu:
1.      Peristiwa pewahyuan
2.      Kesaksian yang menafsirkan
3.      Kitab dan
4.      Pembacanya
Jejak-jejak dari keempat hal itu dan pengejawantahanya hanya menjadi sistem produksi nilai-nilai transenden, yang menganggap suatu konfigurasi kesadaran mistis dengan kemungkinan-kemungkinan bangkitnya berbagai modus pemahaman yang rasional dan positif.
b.      Analisis Antropologis
Konsep yang sering digunakan dalam pemikiran Arkoun adalah angan-angan dan mitos. Bagi arkoun, angan-angan sosial tidak hanya memainkan peran yang penting dalam perkembangan pemikiran dan masyarakat kaum muslim sampai sekarag, melainkan tetap akan merupakan bagian tak terpisahkan dari pemikir islam yang diperbaharui.
Pandangan Arkoun secara implisit juga menyebutkan bahwa absolutisme idiologi-teologi-filsafat dalam masyarakat adalah hasil proyeksi penafsiran mufasir. Menurut Arkoun, yang seharusnya dilakukan adalah proyeksi dari wacana itu sendiri. Untuk itu Arkun sering kali mengguanakan metode dekonstruksi yang diperkenalkan oleh Jacques Derrida. Arkoun menggunakan metode ini untuk melakukan rekonstruksi tradisi keilmuan islam klasik. Metode itu diterapkan kedalam teks-teks keagamaan dan idiologi melalui pemisahan hubungan minolinier antara teks dengan tafsiranya. Keyakinan bahwa ada hubungan final antara suatu teks dengan tafsiran tertentu, harus dibongkar, karena keyakinan semacam ini akan menimbulkan dampak negatif.
Dekonstruksi juga membawa dampak lain yang lebih bersifat sosiologis, yakni berusaha menghapus monopoli tafsir pada otoritas tertentu yang berbicara mengenai keyakinan tunggal atas nama tuhan. Tafsir menjadi suatu yang relatif demokratis dalam pengertian adanya kemungkinan bahwa kebenran tidaklah menjadi monopoli satu tafsir tertentu.

iii.           Dialog Antaragama
Manusia sbagai makhluk fitrah dan hanafiyah, selalu memiliki potensi untuk bersikap benar dan berperilaku baik sdalam berbagi pkiran dan perbuatanya. Meskipun demikian, karna kelemahanya, yang alamiyah, pada saat yang sama manusia juga memiliki kewajiban untuk mendengar pandangan dan pendapat orang lain, kemudian mengujinya secara kritis,untuk melihat mana yang seharusnya diikuti.
1.      Realitas Pluralisme
Era sekarang yang di sebut-sebut sebagai Era pluralisme dalam berbagai segi kehidupan manusia yaitu, pluralisme budaya,agama, tekhnlogi, dan begitu seterusnya. Dibalik ungkapan itu terkandung maksud bahwasanya sangat sulit utuk mempertahankan paradikma tunggal dalam wacana apapun. Untuk menghadapi realitas dunia yagng plural ini, umat beragama dituntut untuk mampu menempatkan diri dan memahami konteks pluralisme yang dilandasi oleh semangat saling menghormati dan menghargai. Oleh karna itu ada beberapapengertian pluralisme yang perlu dipahami oleh masing-masing umat beragama.
a)    Pluralisme tidak semata menunjukan pada kenyataan tentang adaya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
b)   Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Yang menunjuk pada suatu realitas dimana aneka ragam agama, ras ,dan bangsa hidup berdampingan disuatu lokas. Namun interaksi positif antar penduduk, khususnya dibidang agama sangat minim walaupun ada.
c)    Konsep pluraluisme tidak dapat disamaka dengan relativisme.
d)   Pluralisme agama bukanlah sinksretisme.
2.      Pemahaman baru
Arkoun menganjurkan adanya pemahaman baru terhadap agama. Pemahaman yang tidak terkungkung oleh pemahaman-pemahaman lama diabad pertenahan. Yaitu pemahaman yang terbuka atas berbagai macam kritik dan analitis, pemahaman yang selalu dinamis dan bergarak sesuai dengan perubahan zaman dan masyarakat. Karna tanpa adanya pemahaman itu tidak akan terciptanya saling mengerti bahkan dalam satu agama.
Dalam masalah dialog ini Arkoun mengingtkan pada para pemeluk agama-agama, terutama tiga pemeluk agama semit, yang masing –masing mengklaim bahwa wahyu tuhan sebagai sumber ajaran agama mereka dan kebenaran agamanya. Arkoun pun  membedakan tiga tingkatan wahyu tersebut dilihat secara historis-antropologis.
a)      Pertama wahyu sebagai kalam tuhan yang transenden yang tak terbatas dan tidak kita ketahui secara keseluruhan. Kita hanya mengetahui bagian-bagianya saja yang sudah diwahyukan kepada nabi. Tingkatan ini dalam bahasa al-quran disebut al-lawh al-mah fuzh atau umm al-kitab.
b)      Kedua penampakan wahyu dalam sejarah pada mulnya bersifat lisan yang dalam bahasa Arkoun disebut sebagai ujar satu.
c)      Wahyu yang sudah tertulis yang disebut Arkoun sebagi official closed canons (korpus resmi tertutup). Tingkatan inilah yang  mempunyai sejarah paling besar dalam pewahyuan, bisa juga disebut dengan ujar dua.
Pandangan diatas merupakan salah satu teori dari metode historis-antro pologsis yang digunakan Arkoun dalam setudi wahyu.  Arkoun memandang bahwa wahyu yang telah tertulis tidak bisa dilepaskan dari proses sejarah dan lingkungan sosial yang melingkupinya. Dan melalui hermeunitika Arkoun berusaha mengungkapkan makna teks  keagamaan yang senantiasa hidup dan berkembang sesuai dengan perkembangan sejrah masyarakat yang tersentuh oleh gagasan tentang wahyu tersebut. 
3.      Pendekatan Multi Disipliner
Arkoun menggunakan bebagai macam peragkat dan metode dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang berkembang saat ini.Arkoun menekan dua hal yang dianggapnya sangat penting untuk keperluan dialog antaragama dan peradaban; pertama menggunakan teori linguistik modern mengenai teks.Kedua korpus resmi tertutup merupakan dasar wilayah kultural dan liguistik yang besar dimana wahyu didekati, diinterpretasikan, dan digunakan dalam agama-agama wahyu.
Pandangan arkoun diatas sangat jelas menekankan pentingnya metode linguistik dan semiotik untuk memahami kitab suci guna keperluan dialog. Teks suci harus dibaca ulang melalui berbagi teori linguistik dan semiotik modern untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai”bahasa” yang melatar belakangi lahirnya suatu teks keagamaan, terutama kitab suci.
4.      Saling Mengenal Antar Tradisi

Berdasarkan fakta sejarah, walaupun islam dan barat mempnyai akar teologis yang sama dan telah terjadi berabad-abad, hubungan islam dan barat seringkali ditandai dengan ketidaktahuan, saling menghina dan konflik. Kedua belah pihak memusatkan perhatian semata-mata pada perbedan yang dipertajam, dan melakukan pollarisasi, bukanya mempersatukan visi ketiga tradisi besar monoteistik yang saling berkaitan. Oeh karna itu , arkoun menganjukan usaha salig mengenal tradisi agama-agama itu untuk menghindari hal diatas.

         Arkoun menyarankan dilakukan empat hal untuk dialog antar agama yaitu:
a.       Melakukan pemikiran kembali terhadap konsep-konsep lama tentang agama dan masyarakat untuk menuju suatu era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi sosial.
b.      Melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran teologis yang ekslusif menuju kritismeradikal tanpa kosesi terhadap”akal religius” sebagai fungsinya dalam seluruh tradisi agama-agama tersebut.
c.       Harus melampui pembagian antara” akal religius” dan “akal pencerahan.
d.      Perlunya studi agama secara historis-antropologis

0 komentar :

Posting Komentar