Jumat, 07 Juni 2013


A.    Pendahuluan
Hermeneutika tergolong disiplin ilmu baru dalam diskursus ulum al-Qur’an. Kehadirannya mengundang kecurigaan dan tanda tanya di kalangan para pemikir muslim terutama dari golongan konserfatif. Tidak jelas alasan dari penolakan ini, namun balutan emosional dan sentiment yang berlebihan terhadap Barat ditengarai sebagai salah satu penyebabnya. Karena hermeneutika lahir dan tumbuh di Barat.
Cara kerja hermeneutika tidak jauh berbeda dengan tafsir dalam islam bahkan sebagian sarjana muslim menyebutnya sebagai sesuatu yang sama namun dalam balutan baju yang berbeda. Memang antara hermenutika dan tafsir tidak dapat dipersamakan dalam semua hal, namun keduanya memiliki peran yang sama yaitu membantu pembaca dalam memperoleh pemahaman yang subyektif dari teks yang ia baca.
Pembacaan teks secara obyektif adalah hal yang sangat penting. Karena melalui pembacaan yang obyektif inilah seorang pembaca dapat mengetahui pesan yang disampaikan oleh teks yang dia baca atau memahami apa yang dikehendaki oleh penggagas teks.
Belakangan ini kesadaran akan pembacaan secara obyektif terus menjadi isu santer yang berhembus di kalangan cendikiawan muslim. Salah satu tokoh muslim yang mengajak kepada pembacaan teks secara obyektif adalah Muhammad Abid al-Jabiri. Melalui karya-karyanya yang berbicara mengenai al-Qur’an ide-ide tersebut ia jabarkan.

B.     Riwayat Sosial dan Intelektual Al-Jabiri
Muahmmad Abid al-Jabiri lahir pada tanggal 27 desember 1953 di Firguig, Maroko tenggara. Ia tumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga yang mendukung Partai Istiqlal, sebuah partai yang memperjuangkan kemerdekaan dan kesatuan Maroko yang pada waktu itu berada dalam koloni Perancis dan Spanyol. Ia mengenyam pendidikan secara formal untuk pertama kalinya di madrasah Hurrah al-Wathaniyyah (sekolah swasta nasionalis) yang didirikan oleh gerakan kemerkaan. Dari tahun 1951-1953 ia belajar di sekolah lanjutan milik pemerintah di Casablanca, setelah Maroko merdeka, ia melanjutkan studinya pada pendidikan tinggi setingkat diploma pada sekolah tinggi Arab dalam bidang ilmu pengetahuan.[1]
Pada tahun 1959 ia melanjutkan studinya di universitas Damaskus, Syiria, dibidang filsafat. Di tengah-tengah studinya, al-Jabiri terlibat aktif dalam percaturan politik nasional negaranya. Ia bergabung dengan  partai sayap kiri partai istiqlal yang kemudian mendirikan Union National Des Forces Populaires (UNFP) dan kemudian berubah nama menjadi Union Sosialeste Des Forces Populaires (USFP). Ia dan kawan-kawannya di UNFP di jebloskan ke penjara pada bulan Juli 1964 atas tuduhan konspirasi melawan negara. Namun pada tahun itu juga ia dikeluarkan dari penjara. Setelah itu ia mengajar di sekolah lanjutan atas dan aktif di bidang perencanaan dan evaluasi pendidikan.[2] Pada tahun 1967 ia menyelesaikan ujian negaranya dan selanjutnya mengajar di Universitas of Muhammad V Rabat. Seluruh pendidikan formalnya diakhiri pada tahun 1970 dengan menyandang gelar doktor.[3]
Bersamaan dengan kondisi sosial politik dunia Arab kala itu dinamika intelektual sedang barada dalam goncangan dan persoalan yang dimunculkan olek kaum modernitas. Wacana ini dipicu oleh daya tarik superioritas Barat dalam berbagai aspek kehidupan. Kekalahan Arab atas Israel semakin mempertegas keraguan mereka untuk mempertanyakan ulang tentang masa keemasan kerajaan Islam Arab klasik. Problematika tersebut menjadikan para pemikir Arab terpolarisasi pada dua sisi ekstrim dalam menyikapinya. Dan kebanyakan mereka mengambil sikap ekletisme, yaitu menggabungkan apa yang kelihatan positif dalam dua bentuk pilihan tersebut.[4]
Al-Jabiri termasuk dalam golongan pemikir Arab yang melakukan eklektisme dalam mensikapi modernitas. Dalam artian, menggabungkan antara modernitas dan otentisitas tradisi yang bersumber dari islam sehingga ia tidak dimasukkan sebagai tokoh revolusioner pemikiran Arab. Namun lebih cocok disebut sebagai pemikir reformistik.[5]

C.     Corak Pemikiran Al-Jabiri
Sebagaimana telah disinggung di muka, corak pemikiran al-Jabiri adalah eklektisme, yaitu berusaha menggabungkan antara otoritas tradisi (turats) yang bersumber dari Islam dengan modernitas. Pemikiran semacam ini bertumbuh kembang dalam dinamika pemikiran Arab sebagi reaksi atas dua ekstrimitas pemikiran yang terjadi pada saat itu.
Turats dikalangan pemikir Arab selalu disandingkan dengan hadatsah (modernitas) karena problem antara turats dan hadatsah inilah yang mendominasi wacana pemikiran Arab kontemporer. Sebagi pemikir yang berkecimpung dalam tradisi, tak mengherankan jika al-Jabiri begitu berkepentingan untuk menelusuri akar tardisi yang membentuk nalar Arab. Turats kemudian menjadi gerbang bagi al-Jabiri untuk memasuki pemikiran Arab.[6]
Bagi al-Jabiri, turats bukanlah sisa-sisa atau warisan kebudayaan atau peninggalan masa lampau, tetapi adalah penyempurnaan akan kesatuan dan ruang lingkup kultur yang terdiri atas doktrin agama atau syari’ah, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, kerinduan dan harapan-harapan. Turats dengan demikian adalah berdiri sebagai satu kesatuan dalam seluruh kebudayaan Islam.[7]
Al-Jabiri memandang bahwa tawaran antara turats dan hadatsah bukanlah soal pilihan. Baginya tradisi dan modernitas datang begitu saja di hadapan kita tanpa ada kuasa bagi kita untuk memilihnya. Kita tidak pernah disuruh untuk memilih salah satunya ataupun meninggalkan keduanya. Mak bagi Al-Jabiri, yang terpenting adalah bersikap kritis terhadap keduanya.[8]
Tokoh-tokoh yang pemikirannya menjadi rujukan dan teoritis al-Jabiri adalah para tokoh dalam tradisi pemikiran Prancis. Antara lain Michel Fochault, Levi Strauss, Regic Debray, A. Lalande dan Louis Althusser.


D.    Metodologis Pemikiran Al-Jabiri
Persoalan utama hermeneutika senantiasa berkutat pada pencarian makna teks, apakah makna subyektif atau obyektif. Karena itu, ada tiga bentuk hubungan hermeneutika: hubungan antara penggagas dengan teks; hubungan pembaca dengan penggagas; dan hubungan pembaca dengan teks. Dalam persoalan ini al-Jabiri mencoba bersifat netral dengan berusaha untuk tidak terjerembab pada satu sisi pemahaman subyekfif atau obyektif. Bagi al-Jabiri obyektifitas merupakan hal yang penting sebagai landasan dalam memahami teks. Hal ini tampak dari bagaimana ia dengan tegas mewanti-wanti untuk tidak membaca makna sebelum membaca kata-kata.dalam hal ini seorang penafsir harus meletakkan semua prasangka ideologisnya ketika pertama kali berhadapan dengan teks. Langkah ini mengandaikan prinsip-prinsip hermeneutika fenimenologis, di mana subjek harus melepaskan diri atau, menurut istilah Husseerl, menaruh antara tanda kurung semua mengandaikan dan kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat obyek yang mengarahkan diri kepadanya –langkah ini disebut epche. Lewat proses ini obyek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur kesementaraan yang tidak hakiki, sehingga tinggal hakikat objek (eidos) yang menampakkan diri atau mengkonstitusikan diri dalam kesadaran.[9] Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menghindari otoritarianisme interpretasi. Yaitu suatu metode interpretasi yang merampas dan menundukkan mekanisme pencarian makna suatu teks kepada pembacaan yang bersifat “subjektif” dan “selektif”. Dalam konteks ini seolah-olah pembaca yang bersangkutan paling mengetahui apa yang dimaksudkan oleh pengarang dan teks.
Hermeneutika yang ditawarkan al-Jabiri bersifat negosiatif. Dalam artian ada kompromi antara pembaca dan teks. Di satu sisi teks dibiarkan berbicara apa adanya, namun di sisi lain pembaca diberi kesempatan untuk menafsir ulang sesuai dengan kebutuhan. Konsep al-fashl dan al-washl yang ditawarkan oleh al- Jabiri bukanlah hal yang baru dalam diskursus hermeneutika.[10] Karena, meskipun apa yang digagasnya adalah perpaduan antara obyektifitas dan subyektifitas yang seimbang, tak urung ide obyektifitasnya lebih terlihat mendominasi konsepnya. Dalam kaitan hubungan antara pembaca dengan teks dan penggagas, terdapat tiga bentuk hubungan hermeneutika yaitu; teoritis, filosofis, dan kritis.
Pertama, hermeneutika teoritis. Adalah bentuk hermeneutika yang menitik beratkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar.[11] Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki oleh penggagas teks. Oleh karena tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, maka model hermeneutika semacam ini dianggap juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk “merekonstruksi makna”.
Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini adalah bagaimana tindakan memahami itu sendiri. Hermeneutika model ini digagas oleh Gadamer. Menurutnya, hermeneutika ini berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori interpretasi.  Karena itu dengan mengmbil konsep fenomenologi, Gadamer menganggap hermeneutikanya sebagai risalah ontologi, bukan metodologi.[12]
Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuaan untuk mengungkap kepentingan di balik teks, dengan tokohnya Habermas. Dalam hal ini, Habermes menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutikanya yang justru oleh kedua model hermeneutika sebelumnya diabaikan. Pengertian sesuatu yang berada di luar teks tersebut adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutika sebelumnya, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karene itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.[13]
Dari ketiga model hermeneutika di atas, di manakah posisi hermeneutika al-Jabiri? Tampaknya hermeneutika al-Jabiri tidak bisa lepas dari kedua model hermeneutika pertama, teoritis dan filosofis. Dalam hal hermeneutika teoritis ia mengakui historis al-Qur’an dan dalam hal hermeneutika filosofis ia mengakui ke-azaliah-an al-Qur’an. Ada juga kecurigaan terhadap teks yaitu ketika ia menawarkan kritik ideologisnya. Namun menurutnya hal itu tidak berlaku dalam al-Qur’an, karena sebagai kalam Allah ia terlepas dari ideologi manapun dan bahkan ideologi mesti disingkirkan saat membaca pertama kali berhadapan dengan teks. Langkah pemahaman dengan mendahulukan membaca teks daripada makna, yang berarti makna harus digali dari aspek struktur teks dan kemudian dilanjutkan dengan kritik historis, adalah sebanding dengan apa yang digagas oleh Emilio Betti. Seorang tokoh hermeneut yang menganut hermeneutika teoritis yang mencoba memadukan antara teori Schleirmarcher dan Wilhelm Dilthey menawarkan empat momen gerakan dalam menemukan makna obyektif: pertama, penafsir melakukan investigasi fenomena linguistik teks; kedua, penafsir harus mengkosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan; ketiga, penafsir harus menempatkan dirinya dalam posisi seorang penggagas melalui kerja imajinasi dan wawasan; dan keempat, melakukan rekonstruksi untuk memasukkan situasi dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks. Dari keempat langkah yang ditawarkan oleh E. Betti, langkah ketiga  dimana seorang pembaca harus menempatkan dirinya pada posisi penggagas, adalah hal yang tidak didapati dalam konsep hermeneutika al-Jabiri.

E.     Penutup
Al-Jabiri menyarankan kepada pembacaan yang obyektif melalui pembacaan kata sebelum makna. Dalam hal ini kepentingan-kepentingan ideologis pembaca harus diletakkan ketika berhadapan dengan becaan. Al-Jabiri menyadari bahwa pembacaan yang berorientasi pada obyektifitas semata akan tidak memberikan kontribusi bagi kondisi kekinian pembaca. Karena agar teks selalu dinamis dan kontemporer, rasional subyektif diberikan ruang geraknya. Untuk mengawal pembaca agar tidak terjebak dalam suyektifitas pembaca dan kekakuan obyektifitas, al-Jabiri memberikan jembatan dengan konsep al-fashl dan al-washl yang dianggapnya dapat menjadikan al-Qur’an kontemporer untuk dirinya sendiri dan untuk pembacanya sepanjang masa.wallahu a’lam.



[1] Wahid Harmaneh, “pengantar” dalam al-Jabiri, kritik kontemporer Atas Filsafat Arab Islam, terj. M. Nur Ichwan (yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. Xvii-xviii
[2] Ibid.
[3] Ibid, hlm. xix
[4] Ibid, hlm. Xxiii-xxiv
[5] http:// media isnet.org/Islam/paramadina/juranal/ rab 2. Html, oleh Abdullah Afandi dalam “Pemikiran Tafsir Muhammad Abid Al-Jabiri; Staudi Analisis Metodologis”, Tesis (yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga 2008), tgl 28 Oktober 2008
[6] Abdullah Afandi, ‘Pemikiran Tafsir Muhammad Abid al-Jabiri, hlm. 55
[7] Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Turats wa Al-Hadatsah, hlm. 24
[8] Abdullah Afandi, ‘Pemikiran Tafsir Muhammad Abid al-Jabiri, hlm. 56
[9] Maulidin, “Sketsa Hermeneutika” dalam Gerbang, Jurnal Studi Agama dan Demokrasi, hlm. 17
[10] Al-Fashl adalah sebagai langkah mengatasi problem obyektifitas dalam pembacaan, diaplikasikan dalam al-Qur’an dengan menanggalkannya dari segala atribut yang menyertainya yang termaktub sebagai hasil penafsiran dan segala bentuk pemahaman atasnya. Al-washl adalah sebagai upaya mencapai sebuah rasionalitas dalam pemahaman al-Qur’an dilakukan dengan membawa makna otentik al-Qur’an ke dalam konteks masa kini. Lihat Al-Jabiri, Fahm al-Qur’an al-Hakim, hlm. 87 sebagaimana dikutib oleh Abdullah Afandi dalam “pemikiran Tafsir Muhammad Abid Al-Jabiri, tesis”, hlm. 87
[11] Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Qur’an, Hermeneutika Dan Kekuasaan (Bandung: Rqis, 2003), hlm. 42-46
[12] Richard King, Agama, Orientalisme dan poskolonialisme: sebuah kajian tentang perselingkuhan antara Rasionalitas dan Mistis, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 138.
[13] Aksin Wijaya,  Arah Baru Studi ulumul Qur’an, hlm. 192

author imam, abidin, siswanto
       I.            Pendahuluan
Hemeneutika adalah ilmu sekaligus seni, begitulah kira-kira ungkapan seorang pakar hermeneutika perancis (Paul Ricoeur). Hermeneutika juga merupakan metode penafsiran yang menawarkan model alternatif pemahaman yang disebut metode Abduktif. Yakni, mendekati data atau teks dengan sekian asumsi dan probabilitas sehingga muncul sekian kemungkinan wajah kebenaran. Salah satu peran pokok Hermeneutika adalah ingin menjaga ruh dari sebuah teks, jangan sampai teks itu berubah menjadi sebuah tubuh mati karena ruh yang memberi hidup dan dinamika pada “tubuh teks” telah hilang. Itulah sebabnya hermeneutika lebih tepat disejajarkn dengan Ta’wil, bukannya Tafsir, dalam tradisi keilmuan Islam. Ta'wil artinya mengembalikan makna teks pada bentuk awalnya, yang hidup dan dinamis, namun makna ini sekarang telah terwadahi ataubisa jadi terkurung dalam tubuh teks.
Tradisi intelektual Barat telah salah arah. Berbeda dengan pemikiran Timur. karena barat tidak pernah meninggalkan ajaran tertentu tentang realitas. Agar menemukan kembali suatu yang hilang dari ketidakseimbangan psikis dan spiritual; Ditemukannya kembali peran Imajinasi. Sehinga menjadikan akal (rasio) yang mampu membuka jiwa dalam memahami berbagai hal. Menurt Henry Corbin; menyebutnya Imajinal ; adalah sebuah wilayah realitas yang tak nampak dan jasadiah terorhanikan menjadi tampak (fantasi individual). Manakala kehilangan penglihatan imajinal terhadap realitas tertentu maka unsur mistis dan ajaran keagamaan akan terlepas.

    II.            Rumusan Masalah.
A.     Biografi.
B.     Epistemologi.
C.     Hermeneutika.

 III.            Pembahasan.
A.       Biografi
Sedikit sekali toko-tokoh islam yang begitu terkenal di Barat sebagaimana, nama lengkap beliau adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Al-‘Arabi Al-Hatimi Al-Tai (560-638H/1165-1240M) sebutan beliau adalah Muhyi Al-Din Ibn al-‘Arabi (sang penghidup agama). Beliau dikenal muridnya dengan sebutan al-Syaikh al-Akbar (Guru Besar). Sang Syekh lahir di Mursiya, Andalusia (sekarang Murcia, masuk wilayah Spanyol). Ayahnya (‘Ali) adalah seorang pegawai pemerintah pada masa Muhammad ibn Sa’id Mardanish, penguasa murcia. Dia memiliki keluarga yang terhormat, kemudian keluarga pindah ke Seville, di man ayahnya kembali menjadi pegawai pemerintah dan Ibn ‘Arabi memulai karirnya sebagai sekretaris gubernur.
Pada tahun 590H/1193M, Ibn ‘Arabi pertama kalinya meninggalkan Spanyol dan menju Tunis. Tujuh tahun kemudian pergi ke Timur pada tahun 599H/1202M, dia pergi ke Makkah untuk berhaji, dan dari sana melakukan perjalanan ke berbagai pusat wilayah islam, Mesir, Iraq, Syiria, dan rum (sekarang turki) untuk jangka waktu yang lama. Namun tidak sampai ke Iran. Pada tahun 620H/1223M, dia tinggal di Damaskus, di mana dia dan sejumlah muridnya menetap disan hingga akhir hayatnya pada tahun 638H/1234M. pada saat bersamaan dia melibatkan diri dalam masalah sosial-politik di tengah masyarakatnya dan menjalin hubaungan dengan tiga raja lokal. Salah seorang dri mereka mendapat perhatian khusus dalam tulisannya. Dalam sebuah dokumen (ditulis tahun 632H/1240M), dia meminta izin pada ayyubi Mudzaffar al-Din Musa (memerintahkan damaskus antara tahun 627H/1229-30M sampai dengan 632H/1234M). untuk mengajarkan seluruh ajarannya yang dia tuangkan dalam 290 tulisan.

B.        Epistemologi
Epistemologi, dari bahasa yunani episteme (pengetahuan), dan logos (kata/ilmu). Merupakan cabang Filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Pengetahuan ini meliputi: Ilmu, Orang Yang Berilmu, Menuntut Ilmu dan Timbangan Hukum.
Menuntut ilmu merupakan persoalan penting dalam islam. Dalam Al-Qur’an, sebagai perintah kepada seluruh umat isalam khususnya, dan umat manusia pada umumnya, dianjurkan supaya senantiasa menagajukan permohonan ini. Tuhan Swt berfirman kepada Nabi Saw: “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu padaku”(QS. 20:114). Bentuk serta isi ilmu keislaman terangkum dalam syahadah, “kesaksian” yang menjadi dasar Tauhid, “Tiada tuhan kecuali Tuhan.” Yang terpenting dari seluruh pengetahuan (ilmu) adalah penegetahuan tentang Tuhan. Ilmu tidak dapat dirumuskan dalam pengertian esensialnya serta tidak mungkin ditentukan batasan-batasannya, karena ia meliputi segala ikatan. Tiada sesuatu pun yang lebih gemilang cahayanya dari pada ilmu. Tempat bersemayamnya ilmu, menurut Ibn al-‘Arabi dan para tokoh Muslim lainnya, adalah hati. Ibn ‘Arabi menerapkan dua kata untuk menunujukan pada pengetahuan, ‘ilm dan ma’rifah. Ibn ‘Arabi dalam hal ini terkadanag menyakan dan membedakan konteks yang digunakan.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu mengantarkan seseorang untuk sampai pada Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Pengasih, Yang Maha Pengampun Lagi Bijaksana, bukan Tuhan Yang Maha Murka Lagi Maha Menyiksa. Karena setiap ilmu berasal dari tuhan dan akan mengantarkan kembali pada-Nya. Akan tetapi tidak semua ilmu akan mengantarkan kemabali pada “wajah” tuhan yang sama. Ilmu yang hakiki dan bermanfaat adalah ilmu tentang Tuhan, atau ilmu tentang kosmos sebagai sarana pengejewantahan ayat-ayat Tuhan serta menunjukkan keberadaan-Nya. Ilmu yang mengantarkan pada Tuhan dan kebahagiaan, sudah tentu bukan ilmu sekedar bersifat teori. Ia adalah ilmu yang diaktualisasikan dalam praktik, diamalkan.  Llmu dan amal merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam pandangan kami, ilmu harus diamalkan dan, jika tidak demikian, ia bukanlah ilmu, sekalipun ia tampak dalam bentuk ilmu.
Dalam pandanagan kami, “makar” Tuhan pada seorang hamba adalah bahwa Dia hendak memberinya ilmu yang mesti diamalkan, dan kemudian memberinya ujian dalam mengamalkannya.

Sedangkan ilmu yang tidak mengantarkan pada Tuhan dengan jalan kebahagiaan tidak dapat disebut “ilmu”. Ibn ‘Arabi  menunjuk padanya sebagai dhann, sebuah term al-Qur’an, yang bisa dibicarakan dalam ilmu-ilmu agama dan diartikan sebagai pendapat, praduga, atau usulan. Dalam hal ini akan ada batas-batas ilmu, hakikat seluruh limu adalah ilmu tentang Tuhan Swt, sementara tuhan sendiri, esensi-Nya tak dapat terfahami. Tiada suatu apapun yang dapat diketahui tentang Tuhan kecuali apa yang Tuhan nyatakan.
Dia yang tidak memiliki ilmu menganggap telah mengenal Tuhan, akan tetapi hal itu tidak benar. Sebab, sesuatu tidak dapat dikenali kecuali melalui sifat-sifat positif yang melekat pada sesuatu itu. Tapi, ilmu kita tidak dapat menjangkaunya, begitu pula dengan pengetahuan kita akan Tuhan. Maha Suci Dia yang hanya dapat diketahui! Bukan suatu yang kesembronoan bagi dia yang mengenal Tuhan. Dia tahu bahwa dia adalah salah satu dari mereka yang tidak tahu.
Tuhan tidak dapat dipahami secara rinci, karena pengetahuan tentang Tuhan tidaka akan pernah berakhir baik di dunia ini maupun dunia yang akan datang, Ia tak terbatas.

ilmu dapat diperoleh dari refleksi, penyingkapan ataupun pewahyuan. Kelembutan hakikat manusia juga disebut “jiwa”, dapat diketahui melalui berbagai cara. Ketika manusia mendapat ilmu dari refleksi, maka “alat” yang ia gunakan disebut “akal”, manakala pengetahuan diperoleh langsung dari Tuhan, “alat” tersebut disebut “hati”, yang dikontraskan dengan akal. Sebagaimana yang telah kita ketahui, akal mendapatkan ilmu melalui berbagai keterbatasan dan ikatan-ikatan, sementara hati melampaui seluruh keterbatasan. “akal” atau “kekuatan rasional” adalah salah satu dari kekuatan fundamental jiwa manusia. Dari sudut pandang tertentu, akal merumuskan keadaan manusia, membedakannya dari binatang.
Tuhan menciptakan daya kekuatan yang disebut “akal” dengan menempatkannya di dalam jiwa rasional, untuk menyimbangi kekuatan syahwat ketika ia mengendalikan jiwa dengan membawanya menyimpang dari apa yang telah ditunjukkan oleh sang pemberi hukum.
Tuhan menempatkan akal (di dalam jiwa) untuk mengimbangi (kekuatan) syahwat. Jika tidak ada akal, syahwat akan dimenagkan.

Sebagaimana akal mengendalikan syahwat dan nafsu, ia juga dapat mengantarkan manusia menuju kebahagiaan, yakni dengan menempuh jalan yang telah ditetapkan syari’at.
Refleksi, sebagaimana telah kita ketahui, adalah salah satu dari enam instrumen yang dimiliki oleh kekuatan rasional dalam memperoleh ilmu, lima yang lainnya adalah pancaindera. Refleksi adalah sebuah daya kekuatan yang hanya dimiliki oleh manusia. Ia berasal dari “bentuk” ilahiah yang secara eksklusif hanya dimiliki oleh manusia, Seperti halnya dengan alat-alat yang lain, refleksi dapat digunakan tujuan-tujuan yang baik ataupun buruk.
Fungsi utama refleksi adalah untuk mengantarkan manusia pada pemahaman bahwa dia tidak mampu mencapai pengetahuan tentang Tuhan jika hanya bertumpu pada kekuatannya sendiri. Melalui refleksi, manusia melihat bahwa akal terbatas dan ia hanya mengetahui segala sesuatu yang berada dalam jangkauannya, sementara esensi Tuhan berada di sebarang pembatasan dan definisi. Karenanya, hanya pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh melalui refleksi yang dapat dilakukan oleh akal tidak dapat menjangkau Tuhan. Namun untuk sampai pada suatu pengetahuan yang positif dan bersifat afirmatif tentang Tuhan, berbagai pernyataan tentang Tuhan sesungguhnya bukan pengetahuan tentang Tuhan itu sendiri.
Term Arab nadhar, yang di sini diartikan “pertimbangan ”, memiliki arti melihat, menatap, memperhatikan, menyelidiki. Bagi para pendukung kalam, ia mengandung arti proses penyelidikan dan pemikiran yang dengannya dapat diperoleh berbagai kesimpulan. Ibn al-Arabi menggunakan term tersebut secara teknis untuk menunjuk pada aktivitas-aktivitas spekulatif dari kaum rasionalis pada umumnya, dan khususunya kaum teolog dan para filsuf
Pertimbangan memiliki peran penting, akan tetapi peran itu mesti dibatasi. Mereka yang bergantung pada pertimbangan akan tersesat manakala mereka terikat pada sesuatu yang seharusnya dia tinggalkan dan, misalnya, hal itu mereka percayai.
Dalam berbagai ilmu, akal selalu mengikuti “petunjuk” (taqlid) dan petunjuk terbaik adalah petujuk Tuhan. Taklid merupakan salah satu persoalan penting yang banyak dibicarakan dalam berbagi aliran pemikiran islam dalam kaitan dengan persoalan ushul fiqh. Seseorang yang taklid seakan mengikuti kata-kata serta perbuatan dari orang lain dengan menjadikannya sebagai “kalung” atau “ikat leher”. Taklid seringkali diperlawankan dengan ijtihad, yaitu usaha keras untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan hukum, atau untuk menguasai hukum. Ia juga dikontraskan dengan tahqiq atau pembuktian. Menurut Ibn al- Arabi, kata itulah yang kemudia dijadikan sebagai landasan yang digunakan oleh kaum gnostik, yang berusah membuktikan kebenaran pengetahuan mereka melalui ketersingkapan dan penglihatan langsung. Meski para sufi serimgkali mengkritik orang-orang awam yang hanya bertaklidd, sang syekh membagi orang-orang yang bertaklid  dalam beberapa tingkatan, yang sudah barang tentu, dengan pengecualian bagi mereka yang hanya mengikuti petunjuk (bertaklid pada) Tuhan, bukan yang lain. Dalam beberapa hal menurut syekh, kadang  taklid merupakan suatu keharusan.
Jika di satu pihak, kaum sufi mengikuti petunjuk Tuhan, di lain mereka juga dapat meninggalkan taklid dengan “membuktikan kebenaran” ilmu yang mereka terima melalui hukum yang diwahyukan. Jadi, “pembuktian” (tahqiq) melengkapi serta menyempurnakan taqlid.
Dalam beberapa halaman, Ibn al-Arabi menjelaskan perbedaan antara dua jenis ilmu: yang pertama dapat diperoleh melalui kekuatan rasional, dan “kaum gnosis” yang hanya dapat diperoleh melalui praktik spiritual dan penyingkapan-diri Tuhan. Secara umum, dia menunjuk pada jenis ilmu yang ke dua ini sebagai “ketersingkapan” (kasyf), “merasakan secara langsung” (dzauq), “pembukaan” (fath), “ilham” (basyirah), dan “kesaksian” (syudud), meski dia juga menggunakan term-term lain, dan seringkali memilah-milahkan berbagai term yang beragam.
Terdapat dua jalan yang dapat mengantarkan menuju Tuhan. Tidak ada jalan yang ke tiga. Jalan lain adalah jalan orang yang menyatakan Keesaan Tuhan dengan jalan taklid.Jalan pertama adalah jalan penyingkapan. Ia adalah ilmu yang tidak dapat dibantah yang beraktualisasikan melalui ketersingkapan dan orang dapat menemukannya di dalam dirinya sendiri. Dia tidak mengalami keragu-raguan dalam hal ini dan dia tidak dapat menolaknya. Dia tidak dapat menemukan bukti apa pun dalam hal ini yang kecuali apa yang ada di dalam dirinya sendiri. Jalan ke dua adalah jalan refleksi dan pemikiran melalui pembuktian rasional (burhan aqli). Jalan ini lebih rendah dari yang pertama, karena dia yang mendasarkan pertimbangannya pada pembuktian yang dapat menimbulkan keragu-raguan yang mengacaukan pembuktiannya, dan hanya dapat dihilangkan melalui kesulitan.
Ilmu terdiri dari tiga tingkatan, yang pertama adalah ilmu yang diperoleh melalui akal, yang ke dua ilmu tentang keadaan (ahwal), yang tidak dapat dicapai kecuali melalui dzauq, dan yang ke tiga adalah ilmu tentang rahasia-rahasia (asrar). Tiada ilmu kecuali apa yang bersal dari Tuhan, karena hanya Dia-lah Yang Maha Berilmu. Dia adalah Guru, yang murid-muridnya tidak pernah mengalami keraguan-keraguan tentang segala sesuatu yang berasal dari-Nya. Kita adalah orang-orang yang bertaklid kepada-Nya, dan apa yang dinyatakan oleh-Nya kebenaran semata. Maka, lebih baik kita mengikuti petunjuk-Nya melalui mereka yang disebut “Ulama”, daripada orang-orang yang mengandalkan perenungan reflektif, yaitu mereka yang mengikuti kekuatan reflektif yang ada pada mereka. Mereka tidak pernah berhenti berselisih paham dalam kaitan dengan ilmu tentang Tuhan. Tapi, para Nabi sekalipun jumlah mereka besar dan hidup dalam kurun waktu yang lama, tidak berselisih pendapat tentang Tuhan. Begitu pula halnya dengan para wali Allah dan orang-orang pilihan-Nya: yang terakhir menguatkan apa yang telah disampaikan oleh yang pertama, dan antara satu dengan yang lain saling mendukung.
Ajaran-ajaran Ibn al-Arabi begitu kompleks, dia menawarkan sebuah jalan keluar yang mendasar bagi setiap pertanyaan dan segala kebingungan. Al-qur’an menyatakan secara gamblang: “Ta’atilah Tuhan, dan ta’atilah Rasul serta orang-orang yang menjadi pemimpin di antara kalian; dan apabila kalian berselisih paham, kembalilah pada Tuhan dan Rasul-Nya” (Qs. 4: 59). Tuhan dan Rasul-Nya telah menetapkan timbangan Hukum (al-mizan al-asyar’i), norma yang diterapkan pada setiap manusia serta segala sesuatu secara cepat. Seluruh ilmu dan amal mesti diukur sesuai dengan timbangan ini.
Syari’at dapat memberikan pengetahuan yang tak terjangkau oleh akal jika tanpa bantuan Tuhan, dan pengetahuan ini, sebagaimana telah kita ketahui, membentangkan jalan menuju kebahagiaan hakiki. Dengan kata lain, manusia tidak dapat mendapatkan rahmat Tuhan jika tanpa syari’at.
Term “Timbangan” (mizan) berasal dari akar kata wazn, yang berarti “menimbang”. Sebagaimana ditunjukkan oleh Ibn al-Arabi , terdapat term al-Qur’an yang menunjuk pada seperangkat timbangan-atau dua “takaran”  dan “petunjuk” yang disebut “lidah” (lisan)-dan pada sebuah dacaing atau pengungkit (qabban), yang memanfaatkan berat (rath).
Timbangan yang dimaksud di sini adalah syari’at, yaitu “timbangan yang ditegakkan di tengah-tengah kosmos untuk menegakkan keadilan” Melaluinya Tuhan menunjukkan pada manusia jalan ilmu yang benar baik tentang dirinya sendiri maupun tentang kosmos serta membentangkan jalan yang dapat mengantarkan pada rahmat serta kelembutan-Nya di dunia yang akan datang.
Keadilan yang hanya dapat dicapai melalui Timbangan memiliki keterkaitan erat dengan “kebijaksanaan”. Keadilan berarti meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, sementara kebijaksanaan adalah berbuat secara tepat dalam setiap keadaan, ia dipahami sebagai suatu aktivitas yang tidak mungkin jika tidak disertai dengan pengetahuan yang benar. Seseorang yang bijak dan beradab senantiasa berbuat sesuai dengan Timbangan Hukum. Lebih dari itu, dia mengikuti Timbngan ilmu Tuhan, yang dengannya Hukum ditetapkan. Kebanyakan akal tidak menegtahui apa yang diperbuatnya, jika tanpa bimbingan syari’at. Ibn al-‘arabi senantiasa mengeritik kaum rasionalis karena mereka saling mengambil sumber-sumber yang salah dalam merahih suatu ilmu serta tindak menjadikan ilmu maereka sepenuhnya bermanfaat. Sebab mereka hanya menggunakan pada kekuatan refleksi yang diciptakan oleh sang pencipta. Oleh karena itu manusia perlu mengenal Tuhan melalui Tuhan atau setidaknya melalui bimbingan wahyu Tuhan.

C.       Hermeneutika
Dalam hal ini, Ibn ‘Arabi menggunakan metode ta’wil mengenai hal tasawuf dalam bentuk keimanan terhadap tuhan dan memahami Al-Qur’an dalam bentuk pemahaman konteks dan menjahui meninggalkan makan literal teks. 
Meski akal tidak sepenuhnya dapat menangkap realitas Tuhan, ia memberikan sesuatu pemahaman yang sangat penting tentang ke-Esaan-Nya.ketika Ibn ‘Arabi mengkritik kaum rasionalis yang percaya pada apa yang telah disampaikan oleh rasul tidak pada mereka sepenuhnya mengingkari apa yang telah rasul sampaikan, dia menyatakan bahwa akal adalah sebuah alat yang digunakan oleh kaum teolog dan kaum filosof dalam memahami teks-teks wahyu sesuai dengan “selera” mereka masing-masing atau melalui apa yang mereka sebut ta’wil.
Kata “keimanan” berasal dari lafadz amana yang berarti merasa aman dan selamat. Memiliki keimanan berarti ‘merasa aman’ berkaitan dengan ilmu yang dimilikinya tentang Tuhan dan mampu mengimplementasikannya kedalam praktik. Iman seringkali diterapakan dengan tashdiq. Yang berarti unutk menguji (kebenaran), meyakini atau mengakui apa yang ia yakini. Kalangan teolog umumnya mengartikanya “keimanan” sebagai “menyatakan sebagai perkataan, meyakini dengan hati, dan mengaktualisasaikan dalam perbuatan sesuai dengan tuntutan syari’at.” Menurut sebuah hadits yang terkenal, “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah; orang tuanyalah menjadikanya seorang yahudi, kristen ataupun pengikut Zoroastrianisme”. Inilah fitrah yang termanifestasikan dengan sendirinya pada saat Tuhan meminta kesaksian anak-anak Adam ketika hendak memasuki dunia ini. Itulah asal muasal keimanan. Salah satu cara yang digunakan Tuhan untuk menguji keimanan seseorang adalah dengan menurunkan Syari’at. Sebagaiman dengan syari’at, pengutusan para nabi itu sendiri sesungguhnya merupakan suatu cara dimana Tuhan menguji para hamba-hamba-Nya.
Ibn ‘Arabi menjadikan hal ini menjadi jelas ketika berbicara tentang “dengki”. Tuhan melimpahkan ilmu-Nya kepada siapa yang dikehendaki. Yaitu ilmu yang dapat mengantarkan menuju kebahagiaan dan menerangkan dengan suatu cara yang memeungkinkan untuk memahaminya. Hal ini pun di lakukan dengan mengutus seorang rasul bagi setiap kaum. Dia menempatkan seorang rasul di hadapan mereka dan memerintahkan kepada mereka supaya mengikuti dan menaatinya, sebagai ujian dari-Nya, supaya jelas bagi mereka bahwa Tuhan apa yang ada dalam diri mereka. Ibn ‘Arabi tidak menyatakan bahwa orang yang tidak beriman tidak dapat masuk surga. Tapi dia hanya menagtakan bahwa ilmu yang menyatakan ke-Esa-an Tuhan dapat memberikan keselamatan walau tanpa iman. Al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menagampuni segala dosa kecuali syirik  (menyekutukan Tuhan dengan yang lain), lawanya adalah tauhid (QS. 4;48, 4;116).
Keimanan menurut penerima akan apa yang disampaikan Tuhan melalui wahyu, sementara akal tidak dapat menangkap segala sesuatu yang berasal dari realitas ketuhanan. Kata yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi untuk menunjuk hal ini adalah kata ta’wil, sebuah term Qurani yang disebut 17 ayat dalam al-Qur’an, meski tidak dalam sebuah penertian yang menunjukan “ketersesatan”. Secara harfiyah, kata tersebut berarti “kembali”, “mengembalikan” menegmbalikan pada asalnya dalam arti luas ia juga berarti menemukan, menerangkan dan menafsirkan.
Secara umum Ibn ‘Arabi berpendapat ibn ‘Arabi berpendapat bahwa Ta’wil merupakan suatu cara untuk menafsirkan al-Qur’an serta sabda nabi melalui suatu cara yang tidak dapat dikompromikan dengan prinsip rasional. Disamping (misal, melalui penagalamna dan ketaqwaan), seorang mufasir menagkui supermasi akal serta kemampuan dalam memahami segala sesuatu sebenarnya, akal menjadi timbangan bagi segala sesuatu, termasuk firman tuhan. Secara praktis, seluruh Hermeneutika modern serta warisan skriptual yang masuk dalam kategori ta’wil sebagaiman Ibn ‘Arabi memahaminya. Salah satu penagruh negatif ta’wil adalah kenyataan bahwa ia dapat melemahkan iman. Orang yang berusaha mena’wilkan wahyu berarti yakin pada kebenaran ta’wilnya, tidak pada apa yang sampaikan oleh wahyu itu. Karenanya, dia tidak dapat melepaskan diri dari keterbatasan sendiri.
Ilmu yang diperoleh akal melalui refleksi sifatnya terbatas demikian pula hanya dengan cahaya yang disemayamkan tuhan kedalam hati manuisa. Dalam kaitan dengan segala yang tercipta, akal memiliki keterbatasan dalam memahami penyingkapan diri  Tuhan.hal ini membuktikan betapa ke-Esaan tuhan sebagaimana tuhan menyatakan diri dengan wahyu-Nya kedalam bentuk kosmos.
Menurut Ibn ‘Arabi, tidak ada seoarang pun yang dapat meragukan akurasi literal Al-Qur’an. Menganggap bahwa “hakikat makna” (firman) tuhan berada dibalik pernyataan literal atau dapat ditemukan melalui ta’wil merupakan salah suatu itndakan yang tidak beradab terhadap tuhan. Kita tidak boleh mengabaikan begitu saja makna literal dari suatu teks (ayat Al-Qur’an). Karena tidak mungkin memahami teks al-Qur’an jika hanya bersandar pada akal, fakta ilmiah serta barbagai upaya rasioanl lainnya, untuk memahami makna teks diperlukan kesiapan tertentu.
Ibn ‘Arabi secara tegas menyataka bahwa ilmu yang diperoleh melalui jalan kasf lebih tinggi dari olmu yang diperoleh melalui upaya intelektual dan pencarian rasional. Meskipun demikian dia tidak menagtakan bahwa ilmu rasional tidak berguna akan tetapi rasioan itu memilik batasan-batasan semisal memahami persolan tertentu yang tidak dapat dinalar dengan akal. Sang syekh pun memberikan ketentuan yang sama manakala mengingatkan kita akan batasan akal. Suatu kenyataan bahwa akal terbatasi dan terikat pada kenyataan alamiyahnya. Sebenarnya, ia menyatakan, “akal” hanyalah merupakan nama bagi tindakan kognitif yang mampu membedakan antara kita dengan Tuhan. Kasih sayang Tuhan tidak akan pernak teraktualisasikan hingga pesona akal dapat deipecahkan dan keterlepasan dapat teratasi.