HERMENEUTIKA & TAFSIR AL-QUR’AN
I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah swt
kepada Nabi Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (Muntaj Tsaqafi)
sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode Tafsir yang
digunakan adalah Hermeneutika, karena metode tafsir konvensinal dianggap sudah
tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan
ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah
melanggengkan status quo dan kemrosotan umat Islam secara moral, politik
dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN / IAIN /
STAIN seluruh Indonesia. Bhakan, di perguruan tinggi Islam di Nusantara ini
Hermeneutika makin digemari.
Metode Hermeneutika diambil untuk menggantikan atau konon katanya
untuk melengkapi metode tafsir klasik al-Qur’an yang selama ratusan tahun telah
dikenal dan diterapkan para Ulama’ dalam menafsirkan al-Qur’an.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pengertian
Hermeneutika.
B.
Dampak
Hermeneutika.
C.
Cara
menfsirkan al-Qur’an.
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hermeneutika.
Secara harfiah, Hermeneutika artinya “Tafsir”. Secara etimologis,
istilah Hermeneutika dari bahasa Yunani Hermeneuin yang berarti
menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi
Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Dikalangan pendukung
Hermeneutika ada yang mneghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris as. Dalam
mitologi Yunani Hermes dikenal sebagai Dewa yang bertugas menyampaikan
pesan-pesan Dewa kepada manusia.
The New Enchiclopedia Britannica menulis, bahwa Hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general
tentang interpretasi Bibel (The Study of The General Priciple of Biblical
Interpretation). Tujuan dari Hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran
dan nilai-nilai dalam Bibel. Dalam sejarah interpretasi Bibel, ada empat model
utama interpretasi Bibel, yaitu:
1.
Literal
Interpretation.
2.
Moral
Interpretation.
3.
Allegorical
Interpretation.
4.
Annagogical
Interpretation.
Hermeneutika bukan sekedar tfsir, melainkan satu “metode tafsir”
tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda
dengan metode tafsir al-Qur’an. Dikalangan Kristen saat ini, penggunaan
Hermeneutika dalam Interpretasi Bibel sudah sangat lazim, meskipun juga
menimbulkan perdebatan.
Bagi kaum kristen, realitas teks bibel memang membutuhkan
Hermeneutika untuk penafsiran Bibel mereka. Para Hermeneutis dapat menelaah
dengan kritis makna teks Bibel yang memang teks manusiawi mencakup kondisi
penulis Bibel, kendisi Historis dan makna Literal suatu teks bibel. Perbedaan
realitas teks antara teks al-Qur’an dan teks Bibel juga membawa konsekuensi
adanya perbedaan dalam metodologi penafsiranya.
Tetapi, metode historis kritis dan analisis penulis teks tidak
dapat diterapkan untuk teks wahyu seperti al-Qur’an, yang memang merupakan
kitab yang Tanzil. Yang jelas, ada sabda Nabi Muhammad saw yang perlu
direnungkan secara mendalam oleh akademisi Muslim khususnya yang sedang
bergelut dalam dunia studi Islam di Kampus-kampus Islam. Mereka seharusnya
menyiapkan diri dengan serius menyambut tantangan besar dalam bidang study
Islam yang ditimbulkan oleh kajian para orientalis terhadap Islam. Sebelum mengadopsi
metodologi baru dalam ilmu Tafsir, harusnya mereka mengkaji dengan serius,
mengerti apa hakikatnya dan apa bedanta dengan Islam. Sebab, ketika wacana
asing itu sudah masuk dan diikuti banyak orang, maka tidak mudah lagi
menhentikan dan mengoreksinya. Sebagian sudah mempunyai kepentingan umtuk
memperhankan, meskipun terbukti keliru. Padahal Rasulullah saw pernagh
mengingatkan:
“Kalian
sungguh akan mengikuti jalan-jalan Kaum sebelum kalian, sehasta demi sehasta,
sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekalipun
kalian akan mengikutinya juga”. Kemudian Rosulullah saw ditanya, “apakah mereka
(yang diikuti) itu kaum Yahudi dan Nasroni?” Rasulullah menjawab, “siapalagi
(kalu bukan mereka)?” (HR. Bukhori
Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad).
B.
Dampak Hermeneutika.
1.
Relativisme
Tafsir
Para penglaplikasi Hermeneutika menganut paham relativisme tafsir.
Tidak ada tafsir yang tetap. Semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia
yanng relatif, kontekstual, temporal dan personal. Prof. Amin Abdullah
menggambarkan fungsi hermeneutika sebagai berikut:
“dengan
sangat intensif hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapun
orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah
terbatas. Parsial-kontekstual pemahamanya, serta bisa saja keliru. Hal ini
bersebrangan dengan keinginan egois hampis semua orang untuk selalu benar.”
Prof. Amina Wadud, seorang
tokoh feminis juga menyatakan, “No method of Quranic exegesis fully
objectives. Each exegete makes some subjektive choices” “(Tidak ada metode
penafsiran al-Qur’an yang sepenuhnya obyektif. Masing-masing penafsir membuat
pilihan-pilihan yang subyektif)”.
Argumentasi semacam itu sangatlah tidak beralasan. Islam adalah
agama yang satu, dan sepanjang sejarah Ulama’ Islam bersatu dalam banyka hal.
Umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw hingga kini sampai kiamat, membaca
syahadat dengan lafadz yang sama, sholat subuh 2 rakaat, membaca takbir “Allahu
Akbar”, puasa di bulan Ramadhan dengan cara yang sama, haji ke Baitullah juga
dengan cara yang sama.
Paham relativisme tafsir ini sangat berbahaya, sebab:
a)
Menghilangkan
keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, sehingga selalu berusaha
memandang kerelatifan kebenaran Islam.
b)
Menghancurkan
bangunan ilamu pengetahuan Islam yang lahir dari al-Qur’an dan sunnah Rasul
yang sudah teruji ratusan tahun.
c)
Menempatkan
Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman.
Dengan demikian , maka penggunaan Hermeneutika sebagai sutu metode
tafsir al-Qur’an bisa sangat berbahaya, karena berpotensi besar membubarkan
ajaran-ajaran Islam yang sudah final. Dan itu sama artinya dengan membubarkan
Islam itu sendiri.
2.
Curiga
dan Mencerca Ulama Islam
Para pendukung metode ini juga tidak segan-segan memberikan tuduhan
yang membabibuta terhadap para Ulama’ Islam yang terkemuka, seperti Imam
Syafi’i, yang berjasa merumuskan metodologi keilmuan Islam, yang tidak
dikehendaki oleh para pendukung Hermeneutika. Para mufasir, mukhaditsin dan
Ulama ushul fiqh, telah memiliki metode yang kokoh dalam manafsirkan al-Qur’an.
Imam Syafi’i selain dikenal sebagai Ulama ushul fiqh yang brilian juga dikenal
sebagai mufasir. Beliau dijadikan panutan oleh para Ulama dan umat Islam
seluruh dunia. Ketokohan dan ilmunya tidak diragukan. Namun, dikalangan
pendukung hermeneutika, Imam Syafi’i dijadikan bahan kritikan bahkan bahan
pelecehan.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk membaca arah para pendukung
Hermeneutika untuk al-Qur’an. Mereka sejatinya ingin mengubah Islam agar bisa
disesuaikan dengan zaman modern. Mereka ingin Islam yang baru, buakn Islam yang
dulu dipahami oleh para sahabat, tabi’in, tabit tabi’in dan generasi awal Islam
yang berjasa meletakkan pondasi keilmuan Islam yang kokh dan tahan uji. Mereka
karena terpesona atau terjebak kedalam gemerlapnya metodologi barat dalam study
agama-agama menolak pengguanaan pengguaan metode yang dirumuskan para ulama
Islam, tetapi malah memasukkan unsur metodologi asing yang kadangkala
bertentangtan dengan metode Islam sendiri dalam menafsirkan al-Qur’an.
3.
Dekontruksi
Konsep Wahyu
Sebagian pendukung hermeneutika memasuki wilayah yang snagat rawan
dengan mempersoalkan dan menggugat otentisitas al-Qur’an sebagai kitab yang
lafadz dan maknanya dari allah swt.
Penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an juga cenderung
memandang teks sebagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang
sifatnya trensenden (ilahiyah). Dalam bingkai hermeneutika, al-Qur’an
jelas tidak mungkin dipandang sebagai wahyu tuhan lafadz dan makna sebagai mana
dipahami mayoritas umat Islam, tetapi ia merupakan produk budaya atau
setidaknya wahyu Tuhan yang dipengaruhu oleh budaya Arab, yakni budaya dimana
wahyu diturunkan.
C.
Cara menafsirkan al-Qur’an.
Cara menafsirkan al-Qur’an haruslah sesuai dengan cara yang sesuai
dengan al-Qur’an itu sendir secara tekstual, dan bukan kontekstual (sesuai
dengan kondisi dan situasi). Adapun cara yang dapat dijadikan pegangan dalam
menafsirkan al-Qur’an, ringkasnya sebagai berikut:
Pertama, tafsir
al-Qur’an adalah penjelasan makna kata-kata dalam susunan kalimatnya dan makana
susunan ayat-ayatnya menurut apa adanya (tanpa mengada-ada dan tidak menyimpang
sedikitpun dari makna yang sebenarnya).
Kedua, menurut
kenyataan, al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, sebagai mana ditegaskan
dalam firman Allah swt, yang artinya: “Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan,
bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui.” (QS. Fushshilat:
3).
Karena itu, al-Qur’an harus dipahami menurut kenyataannya sebagai
kitab suci yang diturunkan dalam bahasa Arab.
Ketiga, persoalan yang
dibawakan oleh al-Qur’an adalah risalah ilahiyah ‘alamiyah (universal)
yang diamanatkan kepada seorang Nabi dan Rasul Muhammad saw untuk disampaikan
kepada seluruh Umat Manusia. Didalamnya terdapat segala sesuatu yang berkaitan
dengan risalah, seperti aqidah, ibadah, akhlak, hukum, kabar gembira,
peringatan keras, kisah-kisah Nabi dan Rsul dan sebagainya.
Keempat, menafsirkan
kata-kata dan susunan kalimat yang terdapat didalam al-Qur’an, baik lafadz
maupun pengertianya, harus berdasarkan bahasa arab, tidak boleh ditafsirkan
atas dasar pengertian bahasa lain. Itu tidak berarti bahwa al-Qur’an hanya boleh
dimengerti dalam bahasa arab saja.
Kelima, untuk memahami
kisah-kisah sejaran didalam al-Qur’an, atau berita-berita tentang berbagai umat
manusia pada zaman silam atau untuk memahami kata-kata dan kalimat-kalimtnya
menceritakan kisah-kisah dan berita-berita tersebut, tidak perlu kita cari
maknanya didalam Taurot ataupun Injil, karena memang tidak ada kaitanya dengan
bahasa Taurat dan injil.
Keenam, anggapan orang
banyak dimasa lampau maupun masa kini bahwa al-Qur’an berisi macam-macam ilmu
pengetahuan dan ada kaitanya dengan sains dan tekhnologi, kemudian mereka
menambahkan semua teori dan fakta ilmiyah kedalam tafsir al-Qur’an. Banyak
mufasir modern yang mengaitkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan
al-Qur’an, seperti ilmu alam (Fisika), Ilmu falak (antariksa), ilmu kimia, ilmu
genetika, ilmu kedokteran, ilmu geografi, ilmu matik, dan sebagainya.
Ketujuh, orang-orang
zaman dahulu, baik para sahabat Nabi, para Tabi’in, para Ulama’, para ahli Fiqh
dan para ahli Tafsir, semua memahami al-Qur’an berdasarkan ijtihad
masing-masing yang dibenarkan oleh agama, selama tidak didasarkan pada Ra’yu
(murni pendapat) dan setiap ijtihad bisa benar bisa keliru.
IV.
KRITIK
a)
Sebaiknya
Para ahli Hermeneutika dalam menafsirkan teks-teks atau naskah-naskah kuno
lebih memahami kondisi masa terjadinya / terbentukya teks, agar tidak mudah
memfonis bahwa masanya tidak pas dengan masa sekarang.
b)
Teori-teori
penafsiran dalam Hermeneutika kurang mengena dengan kontektual masa lampau
sehingga sering mengucilkan mufasir-mufasir kuno.
c)
Kualitas
teori yang dipakai untuk menafsirkan terlalu cenderung memenangkan masa
sekarang, padahal masa lampau dan masa sekarang hanya berbeda peradaban, sedangkan
kualitas teks / naskah semakin kuat.
d)
Kenalilah
dan bendingkan keilmuan mufasir klasik dengan mufasir modern, agar tidak mudah
menjatuhkan nama baik mufasir akan tetapi penghormatan atas jasa-jasa mereka
yang diterapkan.
V.
KESIMPULAN
Dari uraian penjelasan
diatas dapat disimpulkan dengan beberapa point-point penting, yaitu :
a)
Secara
harfiah, Hermeneutika artinya “Tafsir”. Secara etimologis, istilah Hermeneutika
dari bahasa Yunani Hermeneuin yang berarti menafsirkan. Hermeneutika
adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel.
b)
Dampak
hermeneutika yaitu,
1.
Relativisme
Tafsir
Para
penglaplikasi Hermeneutika menganut paham relativisme tafsir. Tidak ada tafsir
yang tetap. Semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yanng relatif, kontekstual,
temporal dan personal.
2.
Curiga
dan Mencerca Ulama Islam
Para
pendukung metode ini juga tidak segan-segan memberikan tuduhan yang membabibuta
terhadap para Ulama’ Islam yang terkemuka, seperti Imam Syafi’i, yang berjasa
merumuskan metodologi keilmuan Islam, yang tidak dikehendaki oleh para
pendukung Hermeneutika.
3.
Dekontruksi
Konsep Wahyu
Sebagian
pendukung hermeneutika memasuki wilayah yang sangat rawan dengan mempersoalkan
dan menggugat otentisitas al-Qur’an sebagai kitab yang lafadz dan maknanya dari
allah swt.
c)
Cara
menafsirkan al-Qur’an haruslah sesuai dengan cara yang sesuai dengan al-Qur’an
itu sendir secara tekstual, dan bukan kontekstual (sesuai dengan kondisi dan
situasi). Adapun cara yang dapat dijadikan pegangan dalam menafsirkan al-Qur’an
yaitu dengan tujuh cara yang telah disebutkan diatas.
VI.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami
sajikan, tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunannya.
Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dalam penyempurnaan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
semua. Amin...
Author ; Rozin,Minanur dan Ariyanto/sem3/12
0 komentar :
Posting Komentar