Jumat, 07 Juni 2013










HERMENEUTIKA & TAFSIR AL-QUR’AN
 
I.          PENDAHULUAN

Al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah swt kepada Nabi Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (Muntaj Tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode Tafsir yang digunakan adalah Hermeneutika, karena metode tafsir konvensinal dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melanggengkan status quo dan kemrosotan umat Islam secara moral, politik dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN / IAIN / STAIN seluruh Indonesia. Bhakan, di perguruan tinggi Islam di Nusantara ini Hermeneutika makin digemari.
Metode Hermeneutika diambil untuk menggantikan atau konon katanya untuk melengkapi metode tafsir klasik al-Qur’an yang selama ratusan tahun telah dikenal dan diterapkan para Ulama’ dalam menafsirkan al-Qur’an.

II.          RUMUSAN MASALAH
A.  Pengertian Hermeneutika.
B.  Dampak Hermeneutika.
C.  Cara menfsirkan al-Qur’an.

III.          PEMBAHASAN
A.  Pengertian Hermeneutika.
Secara harfiah, Hermeneutika artinya “Tafsir”. Secara etimologis, istilah Hermeneutika dari bahasa Yunani Hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Dikalangan pendukung Hermeneutika ada yang mneghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris as. Dalam mitologi Yunani Hermes dikenal sebagai Dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia.
The New Enchiclopedia Britannica menulis, bahwa Hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bibel (The Study of The General Priciple of Biblical Interpretation). Tujuan dari Hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dalam sejarah interpretasi Bibel, ada empat model utama interpretasi Bibel, yaitu:
1.      Literal Interpretation.
2.      Moral Interpretation.
3.      Allegorical Interpretation.
4.      Annagogical Interpretation.
Hermeneutika bukan sekedar tfsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan metode tafsir al-Qur’an. Dikalangan Kristen saat ini, penggunaan Hermeneutika dalam Interpretasi Bibel sudah sangat lazim, meskipun juga menimbulkan perdebatan.
Bagi kaum kristen, realitas teks bibel memang membutuhkan Hermeneutika untuk penafsiran Bibel mereka. Para Hermeneutis dapat menelaah dengan kritis makna teks Bibel yang memang teks manusiawi mencakup kondisi penulis Bibel, kendisi Historis dan makna Literal suatu teks bibel. Perbedaan realitas teks antara teks al-Qur’an dan teks Bibel juga membawa konsekuensi adanya perbedaan dalam metodologi penafsiranya.
Tetapi, metode historis kritis dan analisis penulis teks tidak dapat diterapkan untuk teks wahyu seperti al-Qur’an, yang memang merupakan kitab yang Tanzil. Yang jelas, ada sabda Nabi Muhammad saw yang perlu direnungkan secara mendalam oleh akademisi Muslim khususnya yang sedang bergelut dalam dunia studi Islam di Kampus-kampus Islam. Mereka seharusnya menyiapkan diri dengan serius menyambut tantangan besar dalam bidang study Islam yang ditimbulkan oleh kajian para orientalis terhadap Islam. Sebelum mengadopsi metodologi baru dalam ilmu Tafsir, harusnya mereka mengkaji dengan serius, mengerti apa hakikatnya dan apa bedanta dengan Islam. Sebab, ketika wacana asing itu sudah masuk dan diikuti banyak orang, maka tidak mudah lagi menhentikan dan mengoreksinya. Sebagian sudah mempunyai kepentingan umtuk memperhankan, meskipun terbukti keliru. Padahal Rasulullah saw pernagh mengingatkan:
“Kalian sungguh akan mengikuti jalan-jalan Kaum sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekalipun kalian akan mengikutinya juga”. Kemudian Rosulullah saw ditanya, “apakah mereka (yang diikuti) itu kaum Yahudi dan Nasroni?” Rasulullah menjawab, “siapalagi (kalu bukan mereka)?” (HR. Bukhori Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad).

B.  Dampak Hermeneutika.
1.    Relativisme Tafsir
Para penglaplikasi Hermeneutika menganut paham relativisme tafsir. Tidak ada tafsir yang tetap. Semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yanng relatif, kontekstual, temporal dan personal. Prof. Amin Abdullah menggambarkan fungsi hermeneutika sebagai berikut:
“dengan sangat intensif hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah terbatas. Parsial-kontekstual pemahamanya, serta bisa saja keliru. Hal ini bersebrangan dengan keinginan egois hampis semua orang untuk selalu benar.”
Prof. Amina Wadud,  seorang tokoh feminis juga menyatakan, “No method of Quranic exegesis fully objectives. Each exegete makes some subjektive choices” “(Tidak ada metode penafsiran al-Qur’an yang sepenuhnya obyektif. Masing-masing penafsir membuat pilihan-pilihan yang subyektif)”.
Argumentasi semacam itu sangatlah tidak beralasan. Islam adalah agama yang satu, dan sepanjang sejarah Ulama’ Islam bersatu dalam banyka hal. Umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw hingga kini sampai kiamat, membaca syahadat dengan lafadz yang sama, sholat subuh 2 rakaat, membaca takbir “Allahu Akbar”, puasa di bulan Ramadhan dengan cara yang sama, haji ke Baitullah juga dengan cara yang sama.
Paham relativisme tafsir ini sangat berbahaya, sebab:
a)      Menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, sehingga selalu berusaha memandang kerelatifan kebenaran Islam.
b)      Menghancurkan bangunan ilamu pengetahuan Islam yang lahir dari al-Qur’an dan sunnah Rasul yang sudah teruji ratusan tahun.
c)      Menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman.
Dengan demikian , maka penggunaan Hermeneutika sebagai sutu metode tafsir al-Qur’an bisa sangat berbahaya, karena berpotensi besar membubarkan ajaran-ajaran Islam yang sudah final. Dan itu sama artinya dengan membubarkan Islam itu sendiri.

2.    Curiga dan Mencerca Ulama Islam
Para pendukung metode ini juga tidak segan-segan memberikan tuduhan yang membabibuta terhadap para Ulama’ Islam yang terkemuka, seperti Imam Syafi’i, yang berjasa merumuskan metodologi keilmuan Islam, yang tidak dikehendaki oleh para pendukung Hermeneutika. Para mufasir, mukhaditsin dan Ulama ushul fiqh, telah memiliki metode yang kokoh dalam manafsirkan al-Qur’an. Imam Syafi’i selain dikenal sebagai Ulama ushul fiqh yang brilian juga dikenal sebagai mufasir. Beliau dijadikan panutan oleh para Ulama dan umat Islam seluruh dunia. Ketokohan dan ilmunya tidak diragukan. Namun, dikalangan pendukung hermeneutika, Imam Syafi’i dijadikan bahan kritikan bahkan bahan pelecehan.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk membaca arah para pendukung Hermeneutika untuk al-Qur’an. Mereka sejatinya ingin mengubah Islam agar bisa disesuaikan dengan zaman modern. Mereka ingin Islam yang baru, buakn Islam yang dulu dipahami oleh para sahabat, tabi’in, tabit tabi’in dan generasi awal Islam yang berjasa meletakkan pondasi keilmuan Islam yang kokh dan tahan uji. Mereka karena terpesona atau terjebak kedalam gemerlapnya metodologi barat dalam study agama-agama menolak pengguanaan pengguaan metode yang dirumuskan para ulama Islam, tetapi malah memasukkan unsur metodologi asing yang kadangkala bertentangtan dengan metode Islam sendiri dalam menafsirkan al-Qur’an.

3.    Dekontruksi Konsep Wahyu
Sebagian pendukung hermeneutika memasuki wilayah yang snagat rawan dengan mempersoalkan dan menggugat otentisitas al-Qur’an sebagai kitab yang lafadz dan maknanya dari allah swt.
Penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an juga cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya trensenden (ilahiyah). Dalam bingkai hermeneutika, al-Qur’an jelas tidak mungkin dipandang sebagai wahyu tuhan lafadz dan makna sebagai mana dipahami mayoritas umat Islam, tetapi ia merupakan produk budaya atau setidaknya wahyu Tuhan yang dipengaruhu oleh budaya Arab, yakni budaya dimana wahyu diturunkan.

C.  Cara menafsirkan al-Qur’an.
Cara menafsirkan al-Qur’an haruslah sesuai dengan cara yang sesuai dengan al-Qur’an itu sendir secara tekstual, dan bukan kontekstual (sesuai dengan kondisi dan situasi). Adapun cara yang dapat dijadikan pegangan dalam menafsirkan al-Qur’an, ringkasnya sebagai berikut:
Pertama, tafsir al-Qur’an adalah penjelasan makna kata-kata dalam susunan kalimatnya dan makana susunan ayat-ayatnya menurut apa adanya (tanpa mengada-ada dan tidak menyimpang sedikitpun dari makna yang sebenarnya).
Kedua, menurut kenyataan, al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, sebagai mana ditegaskan dalam firman Allah swt, yang artinya: “Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui.” (QS. Fushshilat: 3).
Karena itu, al-Qur’an harus dipahami menurut kenyataannya sebagai kitab suci yang diturunkan dalam bahasa Arab.
Ketiga, persoalan yang dibawakan oleh al-Qur’an adalah risalah ilahiyah ‘alamiyah (universal) yang diamanatkan kepada seorang Nabi dan Rasul Muhammad saw untuk disampaikan kepada seluruh Umat Manusia. Didalamnya terdapat segala sesuatu yang berkaitan dengan risalah, seperti aqidah, ibadah, akhlak, hukum, kabar gembira, peringatan keras, kisah-kisah Nabi dan Rsul dan sebagainya.
Keempat, menafsirkan kata-kata dan susunan kalimat yang terdapat didalam al-Qur’an, baik lafadz maupun pengertianya, harus berdasarkan bahasa arab, tidak boleh ditafsirkan atas dasar pengertian bahasa lain. Itu tidak berarti bahwa al-Qur’an hanya boleh dimengerti dalam bahasa arab saja.
Kelima, untuk memahami kisah-kisah sejaran didalam al-Qur’an, atau berita-berita tentang berbagai umat manusia pada zaman silam atau untuk memahami kata-kata dan kalimat-kalimtnya menceritakan kisah-kisah dan berita-berita tersebut, tidak perlu kita cari maknanya didalam Taurot ataupun Injil, karena memang tidak ada kaitanya dengan bahasa Taurat dan injil.
Keenam, anggapan orang banyak dimasa lampau maupun masa kini bahwa al-Qur’an berisi macam-macam ilmu pengetahuan dan ada kaitanya dengan sains dan tekhnologi, kemudian mereka menambahkan semua teori dan fakta ilmiyah kedalam tafsir al-Qur’an. Banyak mufasir modern yang mengaitkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan al-Qur’an, seperti ilmu alam (Fisika), Ilmu falak (antariksa), ilmu kimia, ilmu genetika, ilmu kedokteran, ilmu geografi, ilmu matik, dan sebagainya.
Ketujuh, orang-orang zaman dahulu, baik para sahabat Nabi, para Tabi’in, para Ulama’, para ahli Fiqh dan para ahli Tafsir, semua memahami al-Qur’an berdasarkan ijtihad masing-masing yang dibenarkan oleh agama, selama tidak didasarkan pada Ra’yu (murni pendapat) dan setiap ijtihad bisa benar bisa keliru.

IV.          KRITIK
a)        Sebaiknya Para ahli Hermeneutika dalam menafsirkan teks-teks atau naskah-naskah kuno lebih memahami kondisi masa terjadinya / terbentukya teks, agar tidak mudah memfonis bahwa masanya tidak pas dengan masa sekarang.
b)        Teori-teori penafsiran dalam Hermeneutika kurang mengena dengan kontektual masa lampau sehingga sering mengucilkan mufasir-mufasir kuno.
c)        Kualitas teori yang dipakai untuk menafsirkan terlalu cenderung memenangkan masa sekarang, padahal masa lampau dan masa sekarang hanya berbeda peradaban, sedangkan kualitas teks / naskah semakin kuat.
d)       Kenalilah dan bendingkan keilmuan mufasir klasik dengan mufasir modern, agar tidak mudah menjatuhkan nama baik mufasir akan tetapi penghormatan atas jasa-jasa mereka yang diterapkan.

V.          KESIMPULAN
Dari uraian penjelasan diatas dapat disimpulkan dengan beberapa point-point penting, yaitu :
a)        Secara harfiah, Hermeneutika artinya “Tafsir”. Secara etimologis, istilah Hermeneutika dari bahasa Yunani Hermeneuin yang berarti menafsirkan. Hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel.
b)        Dampak hermeneutika yaitu,
1.         Relativisme Tafsir
Para penglaplikasi Hermeneutika menganut paham relativisme tafsir. Tidak ada tafsir yang tetap. Semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yanng relatif, kontekstual, temporal dan personal.
2.         Curiga dan Mencerca Ulama Islam
Para pendukung metode ini juga tidak segan-segan memberikan tuduhan yang membabibuta terhadap para Ulama’ Islam yang terkemuka, seperti Imam Syafi’i, yang berjasa merumuskan metodologi keilmuan Islam, yang tidak dikehendaki oleh para pendukung Hermeneutika.
3.         Dekontruksi Konsep Wahyu
Sebagian pendukung hermeneutika memasuki wilayah yang sangat rawan dengan mempersoalkan dan menggugat otentisitas al-Qur’an sebagai kitab yang lafadz dan maknanya dari allah swt.

c)      Cara menafsirkan al-Qur’an haruslah sesuai dengan cara yang sesuai dengan al-Qur’an itu sendir secara tekstual, dan bukan kontekstual (sesuai dengan kondisi dan situasi). Adapun cara yang dapat dijadikan pegangan dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu dengan tujuh cara yang telah disebutkan diatas.

VI.          PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunannya. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dalam penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Amin...

 Author ; Rozin,Minanur dan Ariyanto/sem3/12

0 komentar :

Posting Komentar